Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Kesetaraan Gender Di Indonesia Menurut Perspektif Betty Friedan

Ilustrasi Budaya Patriarki
Ilustrasi Budaya Patriarki

Budaya patriarki yang berkembang dalam peradaban bangsa Indonesia merupakan suatu belenggu yang membatasi ruang gerak perempuan untuk berkompetisi dengan laki-laki dalam ranah publik. Perempuan sering dianggap sebagai kaum kelas dua yang berkecimpung sebatas dalam kehidupan rumah tangga seperti mengurus anak, membersihkan rumah dan melayani suami. Situasi seperti ini sering menjadi bahan dimana perempuan ingin bergerak dan menjadi setara dengan laki-laki sehingga tidak dipandang sebagai kaum kelas dua.

Menurut Desy Hasanah Siti, patriarki berasal dari kata Patriarkat yang mengandung arti bahwa struktur penempatan laki-laki dalam segala bidang mempunyai peran yang sangat sentral daripada gender lainnya. Disini dapat dilihat bahwa penempatan struktur tersebut hanya mengutamakan peran gender tertentu daripada kompetensi dan kemampuan dari subjek. Dapat dikatakan bahwa sistem budaya patriarki sangat menjadi problem tersendiri dalam masyarakat, dimana yang berperan aktif dalam ranah publik dan peradaban kehidupan adalah kaum laki-laki.

Bacaan Lainnya

Budaya patriarki sangat menyebar luas di wilayah negara Indonesia sehingga tidak jarang  muncul problem mengenai kekerasan terhadap kaum perempuan bahkan hak dan kewajiban perempuan sering dieksploitasi sebagai pemuas hawa nafsu bagi laki-laki hidung belang, masalah yang paling serius ditengah problem budaya patriarki adalah masalah human traficking. Human traficking yang berkembang dipicu karena adanya kesenjangan kehidupan karena laki-laki sulit membiayai dan menafkahi kehidupan keluarga dengan alasan tertentu,

Perjuangan kaum perempuan dalam membela hak dan kebebasan sudah dimulai sejak lama. Bahkan gerakan ini menjadi perbincangan hangat dalam berbagai forum diskusi. Tak dapat dipungkiri bahwa usaha perempuan untuk mendapat hak dan kesetaraan dengan laki-laki merupakan cerminan bahwa kekuatan rasional perempuan mampu menembus struktur sosial yang sudah terkonstruksi sejak lama.

Perjuangan perempuan di Indonesia, dalam membela hak dan kesataraan dengan laki-laki sudah diprakarsai oleh R.A. Kartini dalam surat-suratnya yang menyuarakan kebebasan untuk mendapat hak menuntut ilmu sama seperti kaum laki-laki. diskriminasi yang dialami oleh perempuan di Indonesia disebabkan oleh budaya dan tradisi yang mengedepankan laki-laki di tempat teerdepan dalam ranah publik dan menyepelekan perempuan sebagai kaum yang lemah dan terbelakang.

Perjuangan perempuan pada masa itu mampu merusak sistem-sistem adat istiadat yang membelenggu perempuan sehingga perempuan mendapat hak untuk berpartisipasi aktif dalam ranah publik, seperti memperoleh kesempatan untuk belajar dan menuntut ilmu dan tidak terpaku pada pekerjaan rumah tangga.

Gerakan dan perjuangan kaum perempuan dalam menuntut hak dan kebebasan perempuan di Indonesia sejatinya mengadopsi gerakan feminisme yang sudah dimulai di Amerika dan Eropa. Gerakan feminisme di Amerika pada tahun 1920 mendapat tantangan yang cukup serius seperti peperangan, meski dalam situasi yang genting dimana perang terus berlangsung, namun perjuangan ini mendapat perhatian dan perempuan mulai mengambil bagian dalam pesta rakyat yaitu pemilu. Meski mendapat perhatian namun tetap saja pada saat itu perjuangan perempuan selalu timbul tenggelam karena kaum perempuan banyak dirugikan secara politis, ekonomi dan kultural.

Gerakan femisime di dunia barat banyak mengalami perlawanan dari para penguasa, bahkan sampai seorang pejuang feminisme yang bernama Maria Gouze dieksekusi mati dan organisasi-organisasi perjuangan perempuan ikut dibubarkan oleh pemerintah. Disini dapat dilihat bahwa konstruksi budaya setempat mempengaruhi perjuangan perempuan dalam memperjuangkan hak, kebebasan dan kesetaraan yang otentik. Kemudian karena mendapat perlawanan yang cukup serius kaum perempuan mulai dibungkam dengan diskriminasi sosial sehingga gerakan feminisme pada tahun 1920 mulai vakum.

Kebangkitan gerakan feminisme mulai bangkit pada Tahun 1960-an yang terkenal dengan istilah gerakan feminisme gelombang kedua. Gerakan ini diprakarsai oleh seorang penulis dan aktivis Amerika yang bernama Betty Freidan. Salah satu karya terpopuler dari Betty Freidan adalah “the feminine mystique”. Buku ini merupakan sebuah karya yang banyak menyumbang kontribusi dalam usaha memerangi diskriminasi dan eksploitasi yang dialami oleh kaum perempuan.

Slogan utama dalam karya ini adalah the problem that has no name dalam bahasa Indonesia berarti “masalah tanpa nama”. Slogan khusus dalam buku ini mau mengupas tentang peran perempuan yang dibatasi oleh konstruksi pemikiran patriarki dimana perempuan hanya mempunyai peran dalam rumah tangga, melahirkan anak, konsumen barang-barang dan kupu-kupu sosial. Disini kelebihan dan kemampuan kaum perempuan sangat dikesampingkan sehingga tidak jarang perempuan mendapat diskriminasi dan eksploitasi dalam kalangan masyarakat.

Dari pelbagai usaha untuk memperoleh hak dan kesetaraan dengan kaum laki-laki dapat dilihat bahwa kaum perempuan mendapat diskriminasi dalam budaya patriarki diakibatkan karena sistem pengambilan keputusan dalam rumah tangga maupun dalam keluarga adalah laki-laki, disini tak dapat disangkal bahwa akses perempuan untuk mendapat kesempatan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan mengembangkan potensi diri dapat dibatasi dengan alasan budaya dan agama.

Eksploitasi dan diskriminasi yang dialami kaum perempuan sangat beragam dan tergantung pada aspek sosio-kultural seperti dalam dunia pekerjaan dimana perempuan selalu mendapat perlakuan yang tidak adil baik dalam upah dan basis pekerjaan tertentu yang dianggap sebagai bidang yang mampu dijalankan oleh laki-laki seperti teknologi, sains, matematika dan lain sebagainya. Selain itu yang paling miris adalah perempuan tak jarang mendapat kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan dijadikan barang dagangan yang sukses dalam pasar ekonomi seperti human trafficking yang menjadi problem terbesar masyarakat.

Baca Juga: Konsep Utopia (Pemerintahan yang Ideal) Menurut Thomas More dan Relevansinya Bagi Demokrasi di Indonesia

Dari berbagai problem yang dialami oleh kaum perempuan seharusnya dari pihak pemerintah maupun instansi terkait perlu untuk membuka mata dan telinga untuk memerangi masalah yang ada. Disini instansi terkait harus berperan aktif dalam perjuangan kaum perempuan dan membuka kesempatan perempuan untuk lebih bebas berekspresi dan mengembangkan potensi diri dan keluar dari belenggu adat istiadat maupun agama yang menjadi alasan utama terjadinya pembatasan hak kaum perempuan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *