Betty Friedan lahir pada tahun 1921 di Peoria, Illinois, Amerika Serikat. Dia tumbuh dalam lingkungan yang konservatif dan belajar di Universitas Smith, di mana dia menjadi anggota aktif dalam organisasi mahasiswa. Setelah lulus, ia bekerja sebagai jurnalis dan menikah. Dalam bukunya The Feminine Mystique mengungkapkan tentang ketidakbahagiaan perempuan Amerika.[1] Friedan menekankan bahwa subordinasi perempuan berakar dari keterbatasan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik. Masyarakat beranggapan bahwa perempuan karena kondisi alamiah yang dimilikinya kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibandingkan pria.
Oleh karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik. Menurut Friedan, perempuan melalui usahanya yang keras akan mampu menyamai laki-laki. Namun, perempuan tak perlu mengorbankan perkawinan dan peran mereka sebagai ibu hanya untuk karier. Betapapun tinggi karier yang dicapai oleh seorang perempuan, tidak berarti dia harus menolak mencintai dan dicintai oleh pria atau menolak mengasuh anaknya. Wanita yang normal, adalah perempuan yang bermoral, yang bisa mendahulukan perkawinannya dan perannya sebagai ibu diatas karier.[2] Selain itu, Friedan juga mengajak perempuan untuk berperan dalam dunia publik tanpa mengajak pria ikut berperan dalam ranah domestik.
Ketidakbebasan perempuan bermula pada para perempuan tahu 1950an-1960an. Dimana pada masa itulah para perempuan merasa gelisah, merasa ada sesuatu masalah terhadap dirinya yang mereka sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya masalah itu.[3] Friedan menyebutnya sebagai The Problem That has No Name. Untuk keluar dai kegelisahan tersebut para perempuan itulah semakin berusaha untuk menjadi feminim sehingga mereka tidak menjadi berbeda dengan perempuan lainnya yang dianggap perempuan baik. Dengan pemenuhan feminitas bagi para perempuan inilah Friedan menyebutnya sebagai Mistik Feminim. Mistik feminin mengatakan bahwa nilai tertinggi dan satusatunya komitmen bagi perempuan adalah pemenuhan kewanitaan mereka sendiri.
Pemenuhan feminitas yang dilakukan para perempuan ini justru membuat mereka menjadi pasif dan didominasi oleh laki-laki. Masyarakat memaksa para perempuan untuk mengambil paeran yang akan membuat mereka memenuhi feminitasnya. Dengan begitulah sebenarnya hak para perempuan diambil dari mereka. Karena pemenuhan feminitas dianggap sebagai kebaikan yang perlu diperankan di dalam masyarakat. Ketidakdiberikannya hak inilah, para perempuan pula tidak memperoleh kesempatan mengembangkan kapasitas nalar mereka.
Dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystidue, Friedan tampaknya tidak menyadari prespektif lain selain perspektif perempuan terdidik, heteroseksual, kelas menengah, dan berkulit putih, yang menganggap peran menjadi seorang isrti dan ibu tidak masuk akal. Friedan menyimpulkan bahwa perempuan kotemporer perlu mendapat pekerjaan yang bermakna dalam pekerjaan di sektor publik secara penuh waktu.[4]
Tujuan pemikiran feminisme Betty Friedan adalah untuk menghapuskan stereotip gender yang membatasi perempuan dan mendorong kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan. Pemikiran Friedan memiliki pengaruh yang besar dalam gerakan feminis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. “The Feminine Mystique” menjadi titik awal bagi banyak perempuan yang merasa teralienasi oleh peran-peran tradisional yang diberlakukan oleh masyarakat. Kritiknya terhadap “The Feminine Mystique” membantu mengubah pandangan masyarakat tentang perempuan dan mendorong perubahan dalam kebijakan publik yang mendukung kesetaraan gender.
Karya-karyanya telah mengilhami generasi feminis berikutnya untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil secara gender.
Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat di Indonesia dalam konteks kesetaraan gender sering kali mencerminkan norma-norma sosial yang lebih tradisional dan patriarkis. Meskipun ada variasi antara kelompok etnis dan daerah, beberapa aspek hukum adat yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Dalam banyak masyarakat adat di Indonesia, terdapat aturan yang memberikan hak warisan yang lebih besar kepada laki-laki dari pada perempuan. Misalnya, tanah atau harta keluarga mungkin secara otomatis diwariskan kepada anak laki-laki, sementara anak perempuan hanya mendapatkan bagian yang lebih kecil atau bahkan diabaikan.
Hukum adat sering kali menempatkan laki-laki dan perempuan dalam peran yang terpisah dan berbeda di dalam keluarga dan masyarakat.[5] Laki-laki sering diharapkan untuk menjadi tulang punggung keluarga yang mencari nafkah, sementara perempuan sering kali dianggap bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak-anak. Hukum adat dapat mengatur pernikahan dan perceraian dengan cara yang tidak selalu mendukung kesetaraan gender. Misalnya, dalam beberapa kasus, aturan adat mungkin membatasi hak perempuan dalam hal perceraian atau hak asuh anak setelah perceraian.
Realitas yang sekarang terjadi di indonesia dan masih kental hukum adatnya terutama di daerah-daerah pedalaman tertentu terkhususnya daerah Nusa Tenggara Timur, kebanyakan masih memegang teguh prinsip adat terutama dalam memberikan hak warisan, perempuan hanya mendapat sedikit warisan atau sama sekali tidak mendapatkan warisan tersebut. Dan yang berikut adalah perempuan didalam hukum adat mendapatkan peran yang terpisah dari laki-laki.
Kedua hal ini adalah masalah yang sekarang di hadapi di daerah Nusa Tenggara Timur karena secara tidak langsung sudah memandang rendah perempuan dan mengklaim bahwa perempuan tidak bisa bekerja.
Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Adat Indonesia
Kedudukan perempuan dalam hukum adat di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh norma-norma sosial dan budaya yang berkembang di masyarakat adat. Meskipun ada variasi antara berbagai kelompok etnis dan daerah, beberapa pola umum dalam kedudukan perempuan dalam hukum adat di Indonesia. Dalam banyak masyarakat adat di Indonesia, perempuan sering kali dianggap memiliki peran tradisional yang terbatas pada pekerjaan rumah tangga, merawat anak, dan mendukung kehidupan keluarga.
Norma-norma adat sering kali menempatkan perempuan dalam peran domestik yang terpisah dan berbeda dari laki-laki. Dalam beberapa hukum adat, terdapat ketidaksetaraan dalam pembagian warisan dan kepemilikan tanah antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, tanah dan harta keluarga mungkin cenderung diwariskan kepada anak laki-laki, sementara anak perempuan mungkin hanya mendapatkan bagian yang lebih kecil atau diabaikan.
Hukum adat sering kali mengatur perkawinan dan keluarga dengan cara yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara. Misalnya, aturan adat mungkin membatasi hak perempuan dalam hal perceraian, hak asuh anak, atau dalam pengambilan keputusan keluarga. Keterlibatan perempuan dalam politik dan kepemimpinan di tingkat masyarakat adat sering kali terbatas. Meskipun ada variasi, namun dalam banyak kasus, perempuan mungkin tidak diizinkan atau kurang didorong untuk mengambil peran politik atau memegang posisi kepemimpinan dalam struktur adat.
Ada perbedaan antara hukum adat dan hukum positif (hukum yang dihasilkan oleh pemerintah). Meskipun hukum adat sering kali memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat, terkadang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan hak asasi manusia yang diakui dalam hukum. Upaya untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam hukum adat di Indonesia melibatkan advokasi untuk reformasi hukum adat yang mendukung kesetaraan gender, pendidikan masyarakat tentang hak-hak perempuan, dan pemberdayaan perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adat mereka.[6]
Pemikiran Betty Friedan dan Relevansinya
Betty Friedan lebih banyak fokus pada konteks Amerika Serikat dalam karya-karyanya, terutama dalam bukunya yang terkenal “The Feminine Mystique”. Meskipun demikian, pandangan umum Betty Friedan tentang masalah kedudukan perempuan dalam hukum adat di Indonesia dapat dirangkum dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang dia perjuangkan.
Betty Friedan menekankan pentingnya mengatasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam hukum formal maupun hukum adat. Dia memperjuangkan hak-hak dasar perempuan, seperti hak untuk pendidikan, kesempatan kerja yang adil, dan kesetaraan dalam kehidupan keluarga. Dalam konteks Indonesia, di mana masih ada praktik-praktik adat yang mungkin membatasi hak dan kesempatan perempuan, pandangan Friedan mungkin menekankan perlunya reformasi hukum dan sosial untuk menghapuskan diskriminasi gender dan memastikan kesetaraan gender.
Dalam hukum adat di Indonesia, terkadang terdapat ketidaksetaraan antara hak-hak yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki. Misalnya, dalam beberapa masyarakat adat, warisan atau kepemilikan tanah dapat diatur secara berbeda antara perempuan dan laki-laki. Pandangan Betty Friedan kemungkinan akan menekankan pentingnya mengubah norma-norma dan praktik-praktik yang tidak adil tersebut agar sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender.
Baca Juga: Konsep Utopia (Pemerintahan yang Ideal) Menurut Thomas More dan Relevansinya Bagi Demokrasi di Indonesia
Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan Betty Friedan hanyalah salah satu dari banyak perspektif feminis yang ada. Ada beragam pandangan dalam gerakan feminis tentang bagaimana menangani masalah kedudukan perempuan dalam hukum adat di Indonesia, dan pendekatan yang berbeda dapat diambil tergantung pada konteks lokal dan kebutuhan perempuan di masyarakat tersebut.
Betty Friedan tidak secara khusus membahas masalah kesetaraan gender dalam hukum adat di Indonesia, pandangannya tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender dapat memberikan panduan bagi kita dalam memahami dan mengatasi masalah ini. Berdasarkan prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh Friedan.
Friedan akan menekankan pentingnya mengatasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalam hukum adat. Ini mencakup hak-hak dasar seperti hak untuk pendidikan, kesempatan kerja yang adil, dan kesetaraan dalam kehidupan keluarga. Friedan mungkin mendorong reformasi hukum untuk menghapuskan ketidaksetaraan gender dalam hukum adat. Ini termasuk mengubah norma-norma dan praktik-praktik yang tidak adil, seperti pembagian warisan atau kepemilikan tanah yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Friedan akan mendukung upaya pemberdayaan perempuan dalam masyarakat, termasuk dalam konteks hukum adat.
Hal ini dapat meliputi pendidikan tentang hak-hak perempuan, dukungan untuk perempuan dalam memperjuangkan hak-hak mereka, dan penciptaan mekanisme yang memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka. Kesimpulannya, pandangan Betty Friedan tentang kesetaraan gender dapat membantu kita memahami dan mengatasi masalah ketidaksetaraan dalam hukum adat di Indonesia dengan memperjuangkan hak-hak dasar perempuan, mendorong reformasi hukum yang adil, dan memperkuat pemberdayaan perempuan dalam masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa mencerminkan bias gender dalam hubungannya terutama terkait dengan sistem kekerabatan dan perkawinan serta pewarisan yang masih berlaku dewasa ini. Ketiga hal tersebut menunjukan adanya perbedaan di satu tempat dengan di tempat lainnya, tergantung dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Masih ada ketidaksetaraan dalam akses dan hak antara perempuan dan laki-laki dalam beberapa praktik hukum adat di Indonesia. Misalnya, dalam hal warisan atau kepemilikan tanah, perempuan mungkin tidak mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Praktik-praktik yang tidak adil terhadap perempuan masih dapat dijumpai dalam hukum adat. Ini mencakup norma-norma yang membatasi perempuan dalam hal keputusan keluarga atau keterlibatan dalam urusan masyarakat.
Diperlukan reformasi dalam hukum adat untuk memastikan kesetaraan gender yang lebih besar. Reformasi ini mungkin melibatkan revisi norma-norma yang diskriminatif dan perubahan dalam implementasi hukum adat untuk memastikan perlakuan yang adil bagi perempuan.
Pemberdayaan perempuan secara sosial, ekonomi, dan politik juga penting dalam mengatasi masalah kesetaraan gender dalam hukum adat. Ini melibatkan memberikan akses perempuan terhadap pendidikan, pelatihan, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Mencapai kesetaraan gender dalam hukum adat memerlukan kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.
Baca Juga: Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Kesetaraan Gender Di Indonesia Menurut Perspektif Betty Friedan
Diperlukan upaya bersama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dan mengatasi norma-norma yang merugikan perempuan. Disamping adanya perbedaan, terdapat pula adanya persamaan terutama yang menyangkut kekuasaan dalam pengambilan keputusan, ini nampak sama yaitu tetap berada di tangan laki-laki. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh budaya partiarki yang bersifat universal yang bersifat turun temurun.
Secara umum kedudukan perempuan dalam hukum adat masih mencerminkan sub-ordinasi dan bias gender terhadap perempuan. Keadaan yang sub-ordinasi terhadap perempuan dapat berubah seiring dengan kemajuan zaman dan majunya tingkat pendidikan suatu masyarakat. disamping perubahan itu dapat juga terjadi melalui proses kesadaran masyarakat yang berorientasi pada kesetaraan dan keadilan gender, melalui pendidikan, peraturan perundang-undangan yang adil hukum dan gender. Sehingga kesetaraan dan keadilan hukum dan keadilan gender dapat terwujud.
Daftar Pustaka
[1] Warianik, “KEBEBASAN, KESEJAHTERAAN, DAN KESETARAAN HAK TOKOH SUNYI, SUMIRAH, DAN SUNTINI DALAM NOVEL “SUNYI DI DADA SUMIRAH” KARYA ARTIE AHMAD KAJIAN FEMINISME LIBERAL”, Jurnal syntax idea, vol.15 No. 4 ( April, 2024), 04.
[2] Loekman Soetrisno, Kemiskinan, perempuan, dan pemberdayaan, (yogyakarta: Kanisius, 2001), hal. 61.
[3] Yati Muchtar, 2001; “Gerakan Perempuan Indonesia Dan Politik Gender Orde Baru”, Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan Dan Kesetaraan, No. 14, , h.12-13.
[4] Dhiyaa Thurfah Ilaa, “Feminisme dan Kebebasan Perempuan Indonesia dalam Filosofi”, Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 4 No 3 (Tahun 2021), 21.
[5] Agustiar. (2004). Gender Dalam Budaya Puak Melayu Riau. Jurnal Ilmu Budaya. Volume 1. Halaman 69. Diakses dari Url https://media.neliti.com/media/publicat ions/98308-ID-gender-dalam-budayapuak-melayu-riau.pdf
[6] Hasbullah dan Jamaluddin. (2013). Enterpreneurship Kaum Perempuan Melayu (Studi Terhadap Perempuan Pengerajin Songket di Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya. Volume 10. Halaman 2. Diakses dari Url http://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/SosialBudaya/art icle/download/388/370.