Membaca Penindasan Warga Poco Leok melalui Lensa Homo Sacer Agamben

Ilustrasi Membaca Penindasan Warga Poco Leok melalui Lensa Homo Sacer Agamben. (ist)
Ilustrasi Membaca Penindasan Warga Poco Leok melalui Lensa Homo Sacer Agamben. (ist)

Poco Leok, wilayah yang terletak di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini mencakup tiga desa, Golo Muntas, Mocok dan Lungar.  Belakangan ini, warga Poco Leok ditimpa masalah yang tak kunjung usai. Di mana daerah ini menjadi pusat perhatian, baik masyarakat lokal  maupun mancanegara, dengan proyek geothermal yang diadakan oleh negara.

Poco Leok dipilih sebagai daerah proyek geothermal yang bertujuan guna mendukung pemenuhan kebutuhan energi nasional di satu pihak, dan mengabaikan hak-hak warga setempat serta berpotensi menindas mereka di pihak lain.

Bacaan Lainnya

Poco Leok yang kaya akan potensi energi geothermal, sudah menjadi incaran dan sasaran perluasan proyek. Mereka percaya bahwasannya kekayaan alam akan membawa kebahagiaan tanpa berbagai tekanan. Namun, anggapan itu berbanding terbalik, dimana hak-hak mereka diabaikan, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun budaya setempat.

Pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara yang ambil bagian dalam proyek ini memproduksi beragam aksi yang merugikan dengan maksud menguasai wilayah Poco Leok. Aksi-aksi tersebut di antaranya, bentrokan antara warga dengan aparat keamanan, dan menangkap Pemimpin Redaksi Floresa serta tiga warga setempat. Aspek ini menelurkan permasalahan dan ketidakadilan bagi masyarakat Poco Leok, yang mana mereka merasa dimarginalisasikan serta hilangnya hak sebagai warga negara.

Beranjak dari peristiwa tragis tersebut, penulis merelevansikan konsep Homo Sacer yang diungkapkan oleh filsuf  Italia, Giorgio Agamben. Hemat penulis, konsep Homo Sacer dapat berkontribusi lebih, guna mengetahui penindasan yang sedang dan telah dialami oleh warga Poco Leok.

Homo sacer berpusat pada seseorang atau komunitas tertentu yang dikucilkan dari pemerintah dan dikeluarkan dari susunan hukum (Agamben, 1998:43). Warga Poco Leok diperlakukan secara tidak manusiawi selayaknya seperti binatang yang bebas ditindas dan dianiaya.

Aspek ini digunakan untuk mendeskripsikan keadaan warga Poco Leok yang diabaikan hak-haknya oleh pemerintah dan perusahaan besar yang ambil bagian dalam proyek geothermal.       

Giorgio Agamben memakai term homo sacer guna mendeskripsikan bentuk “kehidupan telanjang (bare life)”, yakni kehidupan manusia hanya ada dalam artian biologis, tapi hak-hak mereka sebagai manusia yang hidup diabaikan.

Aspek ini menjelaskan bahwa pemerintah atau mereka yang mempunyai pengaruh kuat bisa memperlakukan homo sacer dengan kemauan mereka sendiri tanpa ada ketakutan akan pembalasan hukum yang berlaku.

Konsep yang berasal dari pemikiran politik Romawi kuno, yang mana “homo sacer: tidak dapat dihukum orang yang membunuhnya dan dilarang orang untuk mengorbankannya (Agamben, 1998: 119). Dengan maksud bahwa, homo sacer berada jauh dari jalur hukum dan mereka juga tidak mendapatkan perlindungan hukum.

Ketika menyelidiki politik di era kontemporer, konsep homo sacer Agamben mampu menggambarkan situasi dan kondisi buruk yang dialami baik oleh entitas maupun komunitas yang dimarginalisasikan dalam masyarakat modern.

Mereka tidak mempunyai jalan masuk ke hak-hak dasar, mereka tidak dihormati, dihargai, dijaga sebagai manusia. Dalam konteks Poco Leok, konsep homo sacer Giorgio Agamben mempunyai kaitan erat yang mana masyarakat setempat kerap kali diperlakukan sebagai subjek yang tidak berguna, hak-hak politik mereka diabaikan, bahkan mereka dikorbankan demi kepentingan proyek geothermal yang  dimantik oleh negara dan perusahaannya.

Membaca Penindasan Terhadap Warga Poco Leok

Aksi buruk yang dilakukan oleh pemerintah negara dan pihak terkait terhadap masyarakat Poco Leok dapat ditemukan melalui pengabaian hak tanah warga, bentrokan, penangkapan jurnalis dan tiga warga setempat.

Mereka menggunakan aparat keamanan untuk mengintimidasi warga yang berlebihan sehingga menimbulkan perlawanan. Aksi buruk ini mengakibatkan puluhan orang luka-luka dan ada warga yang tidak sadarkan diri.

Kericuhan ini terjadi pada Rabu 2 Oktober 2024[1]. Hemat penulis, mereka telah merasakan kecemasan akan hilangnya tanah adat sejak dimulainya proyek geothermal. Pemerintah setempat yang bekerjasama dengan perusahan-perusahan besar seperti Perusahaan Listrik Negara, mengadakan proses pengambilan lahan melalui aksi-aksi yang banyak kali tidak diketahui oleh warga setempat. Penulis menganalogikan aspek ini sebagai penguasa, yang mana mereka mengasingkan dan memarginalisasikan warga setempat. 

Dalam lensa Homo Sacer, masyarakat Poco Leok bisa diartikan sebagai entitas atau kelompok yang dipinggirkan dari sistem hukum. Ini menandakan hukum berbanding terbalik dengan tugas yang sebenarnya.

Walaupun masyarakat Poco Leok adalah warga resmi negara Indonesia, akan tetapi mereka tidak dijadikan sebagai subjek yang berlabel sebagai warga negara. Tugas mereka sebetulnya adalah menjaga, merawat dan melindungi tanah leluhur.

Benar aspek yang dinyatakan oleh Schmit tidak mungkin ada kekerasan murni yakni, kekerasan sepenuhnya di luar hukum karena dalam keadaan pengecualian  kekerasan tersebut justru tercakup dalam hukum melalui pengecualiannya itu sendiri (Agamben, 2005: 54).

Namun, dengan adanya proyek geothermal masyarakat lokal akan kehilangan sumber ekonomi lokal dan kehidupan sosial mereka menjadi rusak. (Jebadu, dkk., 2009:40).  Aspek ini memposisikan warga Poco Leok dalam situasi “kehidupan telanjang”.

Dikarenakan hak-hak politik dan sosial mereka diabaikan oleh mereka yang menyusun hak-hak tersebut. Di sini menggambarkan pula warga Poco Leok dijadikan sebagai objek yang bisa diperlakukan semau mereka (oknum bersangkutan) guna memperlancar proyek geothermal yang dianggap krusial oleh mereka, dan dianggap sangat merugikan oleh masyarakat.

Oleh karena itu, kehidupan warga Poco Leok menjadi sangat terbatas karena tidak mempunyai power politik atau hilangnya akses ke jalur hukum dengan maksud memperjuangkan hak mereka. Penulis mengibaratkan mereka sebagai rumah yang tidak ada tuannya, yang mana bebas ditinggal, dihancurkan, dan dimiliki oleh mereka yang mempunyai kekuasaan tersendiri.

Di satu sisi, negara dan perusahaan besar yang ambil bagian dalam proyek ini bisa bertindak sewenang-wenang tanpa ada perasaan takut dan dihukum oleh hukum. Dalam artian “hukum berada di luar hukum itu sendiri atau aku sang penguasa yang berada di luar hukum, menegaskan bahwa tidak ada apa-apa pun yang berada di luar hukum (che non ce uni fiori legge)” (Agamben: 1998: 30). Sedangkan di sisi lain, warga Poco Leok berada di posisi tidak baik-baik saja. Mereka merasa dirugikan, yang mana mereka dijadikan korban dalam aksi tidak adil. Padahal merekalah tuan dari tanah tersebut.

Mengembalikan Hak-Hak Politik Warga Poco Leok

Hemat penulis, penindasan yang sedang diderita oleh masyarakat Poco Leok mesti diatasi secepat mungkin. Pertama, memberikan kembali hak-hak politik warga, dengan cara mendengar aspirasi.

Dikarenakan masyarakat merupakan pembuat keputusan yang lebih baik daripada seorang individu ahli yang berpendidikan tinggi sekalipun, juga pemecah masalah dan pembuat perkiraan yang lebih baik (Purboadji, 2015:12).

Pernyataan ini mengilustrasikan kenyataan hidup warga yang tahu persis kejadian hidup yang terjadi dalam kehidupan, baik kehidupan yang baik maupun yang buruk. Dengan kerjasama seperti ini, kita mampu meminimalisir ketegangan antara warga dengan pemerintah.

Oleh karenanya, keikutsertaan warga yang aktif dalam rangkaian rencana pembangunan dan implementasi proyek geothermal amatlah krusial dengan maksud hak-hak warga bisa dijaga.

Kedua, pemerintah memberikan jaminan kepada warga. Poin ini mendeskripsikan bahwa tanah yang dimiliki oleh warga Poco Leok tidak akan rusak dan hilang, dalam artian pemerintah menggunakan cara-cara yang adil dan diketahui banyak orang.

Aspek ini dilakukan dengan cara mengadakan musyawarah dan diskusi dengan warga setempat, sehingga masyarakat dapat menyuarakan keberatan serta perspektif mereka terkait proyek yang berlangsung. Dengan catatan, masyarakat mesti mempertimbangkan aspek yang benar-benar benar, atau tidak menimbulkan kerugian.

Selain itu, pemerintah juga mengkompensasi yang adil kepada warga yang terdampak proyek tersebut dan menutupnya kembali jika kerugiannya terus meningkat.

Ketiga, penting untuk menentukan bahwa masyarakat Poco Leok harus mempunyai pengetahuan tentang hukum. Poin ketiga ini mengingatkan kepada warga setempat supaya imbangkan pertahanan mereka terhadap hukum atau dikuatkan dengan kapasitas hukum yang kuat.

Lewat pemberian pengetahuan tentang hak-hak atas tanah, dan hak asasi manusia misalnya. Dengan pembelajaran, masyarakat bisa mengoptimalkan produktivitas tenaga kerja, dan pada gilirannya warga negara menjadi pembelajar pertama dan terutama (Made, vol.23, 2023:96). 

Dengan demikian dapat memudahkan warga untuk melawan penindasan dan ketidakadilan yang diadakan oleh pemerintah. Aspek ini mencakup pembentukan jaringan baik badan-badan hukum maupun komunitas dari warga setempat, yang bisa menjadi penopang bagi masyarakat Poco Leok.

Kesimpulan

Ketidakadilan dan eksploitasi sumber daya alam yang diderita oleh masyarakat Poco Leok merupakan bukti nyata penindasan yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian perspektif Giorgio Agamben dalam konsep Homo Sacer dapat memahami bagaimana masyarakat Poco Leok ditempatkan dalam posisi yang amat rendah dan dikuasai oleh mereka yang berkuasa.

Mereka seperti budak yang bebas ditindas dalam penderitaan. Mereka bukan hanya menderita secara fisik, melainkan juga perasaan yang kompleks seperti ketakutan, kepanikan dan kesedihan terus melanda.

Hemat penulis, dengan adanya keikutsertaan atau partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan dan menyerahkan perlindungan hukum yang baik, bisa memulihkan hak-hak politik warga Poco Leok. Oleh karena itu, melalui pendekatan yang baik, benar, tepat dan inklusif, bisa memproduksi solusi yang menguntungkan semua pihak, tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat setempat.


Daftar Pustaka

Buku

  • Agamben, Giorgio. Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, penerj. Daniel Heller
  • Roazen. California: Stanford University Press, 1998.
  • ———————–, State of Exception. London: The University of Chicago Press, 2005.
  • Jebadu, Alex., Raring, Vande Marsel., Regus, Max., dan Tukan, Suban Simon. Pertambangan di Flores-Lembata: Berkah atau Kutuk. Maumere: Penerbit Ledalero, 2009.
  • Pryanto, Rizan Emanuel, “Membaca Rasisime Terhadap Orang Papua dalam Kerangka Homo Sacer Menurut Giorgio Agamben” dalam Akademika, vol. 18, No. 2.
  • Purboadji, Aristo. Demokrasi Kuat Mimpi Buruk Koruptor. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.
  • Pramono, Made, “Impotensi dalam Pendidikan: Menelusuri Serpihan Filsafat Pendidikan Agamben” dalam Mozaik Humaniora, vol. 23. No. 1.

Internet

Floresa, Tim. “Warga Poco Leok dan Pemimpin Redaksi Floresa Dibebaskan, Kapolres Manggarai sebut Mereka Diamankan”. dalam Floresa, https://floresa.co.


[1] Tim Floresa, “Warga Poco Leok dan Pemimpin Redaksi Floresa Dibebaskan, Kapolres Manggarai sebut Mereka Diamankan”, dalam Floresa, diakses pada 2 Oktober 2024.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *