Calon Imam adalah orang-orang yang dipersiapkan secara khusus oleh Gereja Katolik untuk menjadi Imam atau pemimpin agama. Ini mengandaikan bahwa pembicaraan tentang calon Imam tidak terlepas dari konteks pembicaraan mengenai dengan Imam atau klerus. Pembinaan hidup calon imam disebut sebagai suatu tahapan pembentukan atau formasi calon Imam. Ini meliputi, baik pembinaan dan Pendidikan formal maupun informal.
Untuk pembinaan itu, Gereja menyediakan Lembaga Seminari sebagai tempat untuk membina kehidupan calon Imam. Salah satu dekrit Konsili Vatikan II, Optatam Totius membahas secara komprehensif tentang pembinaan dan model hidup calon Imam. Selain itu, ada aturan-aturan hidup harian juga yang mengatur tentang kehidupan calon Imam. Model Pendidikan hidup calon imam tentu mengenai dengan model hidup dan spiritualitas Kristen. Aturan-aturan tersebut bertujuan untuk membina kehidupan calon Imam secara holistik dan bukan secara parsial (melulu pada hal-hal yang bersifat Rohani dan spiritual).
Untuk mengembangkan kepribadian calon Imam secara holistik, maka diterapkan lima aspek pembinaan kehidupan bagi calon imam: 1)aspek kerohanian (sanctitas), 2)pengetahuan (Sciencia), 3)kebijaksanaan (Sapientia), 4)Kesehatan (Sanitas), 5)hubungan social (Societa).[1] Kelima aspek pembinaan calon Imam ini menjadi landasan pembinaan karakter dan pembiasaan hidup dalam keseharian hidup calon Imam.
Berdasarkan hasil tinjauan literatur, sudah banyak penelitian yang membahas tentang teori kepribadian humanistic Erich Fromm dan implikasinya dalam dunia Pendidikan, dalam metode pengembangan kepribadian dan sebagainya. Salah satu penelitian yang relevan dan ‘dekat’ dengan penelitian ini berjudul: Rekonstruksi Psiokoanalisis Humanis Dialektik Erich Fromm dalam Pendidikan Pesantren.[2] Dalam artikel ini, Theguh Saumantri dan Jefik Zulfikar Hafidz membahas secara khusus mengenai dengan pandangan Pendidikan Pesantren terhadap lima kebutuhan manusia. Selain itu, ia juga membahas tentang pandangan Pendidikan Pesantren tentang karakter manusia. Pada bagian pembahasan kuncinya, ia merekonstruksi pemikiran psikoanalisis humanis-dialektik Fromm dalam Pendidikan pesantren.
Baca Juga: Pentingnya Pasar Bebas bagi Indonesia untuk Mengatasi Kemiskinan Menurut Pendekatan Hayek
Menarik dari penelitian tersebut, penulis melihat relevansi antara teori kepribadian humanistic Erich Fromm, secara khusus mengenai dengan konsep ‘lima kebutuhan’ mendasar manusia untuk mencapai kepribadian yang humanistik dengan konteks hidup kaum religius yang ‘banyak’ dinilai bertentangan secara eksistensial dengan tuntutan kodrati manusia atau dengan kata lain, Pendidikan bagi kaum religius cenderung mengabaikan model kebutuhan manusia, sehingga dapat diasumsikan bahwa pendidikan kaum religius adalah bentuk dehumanisme. Maka, muncul beberapa poin pertanyaan: apa konsep kemanusiaan menurut Erich Fromm? Bagaimana hubungan antara kebutuhan akan keterhubungan, dalam teori kepribadian Erich Fromm dengan konteks sosial calon Imam?
Artikel ini bertujuan untuk membahas hubungan ini dengan membatasi diri pada konsep kebutuhan akan keterhubungan (relatedness). Dalam konteks aspek pembinaan calon imam, penulis membatasi diri pada aspek sosial, untuk melihat hubungan dan titik seberang antara dua konsep ini
Manusia dalam Kacamata Humanistik Erich Fromm
Konsep tentang ‘manusia’ dan humanisme sebenarnya didasarkan pada gagasan umum tentang sifat-sifat kodrati yang dimiliki oleh manusia. Namun, Erich Fromm dalam teori kepribadian humanistik mempunyai preferensi dan ciri khas tersendiri dalam memandang, siapa itu manusia. Pandangan humanisme Fromm dipengaruhi oleh tradisi Yudaisme.
Karena itu, ia memandang manusia dalam pandangan tradisional dalam agama Yahudi dan menekankan bahwa manusia berbeda dengan Binatang. Pendasaran konsep perbedaan di antara manusia dan Binatang juga berhubungan dengan tradisi Yahudi tentang manusia sebagai Imago Dei.[3]
Fromm berasumsi bahwa kepribadian seseorang hanya dapat dimengerti dengan terlebih dahulu memahami sejarah manusia yang mendahulukan fakta dan didasari oleh konsep antropologis-fisiologis akan keberadaan manusia. Menurut Fromm, sulit untuk mendefinisikan kodrat manusia yang dikaitkan dengan esensi manusia.[4] Dengan demikian, untuk memahami konsep tentang manusia, tidak hanya bertolak dari sifat-sifat kodratinya, melainkan memahami manusia secara holistik.
Bertolak dari gagasan tersebut, bagi Fromm manusia tidak semata sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon), tetapi berlawanan dengan itu, manusia juga adalah mahkluk yang individual. Pandangan dualisme ini mewarnai pemikiran Fromm. Maka, Fromm mengajukan model dualisme tersebut dalam konteks dilema eksistensial, sehingga manusia hidup diantara kesempurnaan dan ketidaksempurnaan yang kemudian berpengaruh dalam konteks-konteks hidup manusia selanjutnya.[2]
Dalam konteks cara pandang, Fromm mempunyai dua orientasi dan cara pandang terhadap manusia, yakni pertama, dari cara pandang agama yang dipengaruhi oleh Buddhisme dan tradisi Yahudi-Kristen. Dari orientasi agama, Fromm dapat menemukan tipologi manusia dalam kaitannya dengan sang Pencipta.[3] Kedua, dari cara pandang ilmu psikologi. Secara singkat, Fromm memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah mendasar manusia. Dengan teori kepribadian ini, Fromm menyumbang sebuah konsep.
Teori Kepribadian Humanistik dan Konsep Kebutuhan Eksistensial
Teori kepribadian humanistik adalah salah satu teori yang oleh Erich Fromm yang dikembangkannya dari tiga bidang ilmu yang dipelajari olehnya: psikologi (secara khusus psikoanalisis), Sejarah dan Kebudayaan dan Sosial dan Filsafat. Dengan model dan cara pandang holistik, Fromm berusaha untuk mendekati manusia dan karakter humanistiknya. Dalam kategori bidang kajian filsafat, dapat dikatakan bahwa teori kepribadian humanistic Fromm termasuk dalam bidang filsafat manusia. Asumsi penulis ini bertolak dari: pertama, objek teori kepribadian ini adalah manusia. Kedua, karena membahas tentang aspek-aspek kejiwaan manusia Fromm bertolak dari asumsi-asumsi Filsafat yang pelik untuk menjelaskan hakikat manusia secara ‘utuh.’ Ketiga, konstruksi konsep-konsepnya dalam bahasa filosofis.
Teori ini lebih umum dikenal dengan sebutan teori kepribadian Marxian. Walaupun oleh Fromm teori ini sering disebut sebagai teori humanis dialektik, namun karena ia membidangi studi psikoanalisis yang oleh Sigmund Freud dan mendapat pengaruh Freud yang cukup besar, maka sebutan lainnya adalah psikoanalisis humanistik. Teori ini mengarahkan pandangannya yang fokus akan masalah perjuangan manusia dalam memperoleh kebebasan sebagai tuntutan kebutuhan manusia itu sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teori ini lahir dari proses dialektika yang tajam berupa sintesis antara pemikiran Marxian dan Freudian.[3]
Hal yang paling mendasar dari teori kepribadian humanistik Erich Fromm adalah sifatnya yang dualistik.[5] Erich Fromm menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial sekaligus sebagai individu.[2] Sebagai intisari yang dipahami dari teori kepribadian humanistic Erich Fromm, maka selalu ada ‘perang’ antara konsep individu dan konsep sosial. Maka, atas dasar dualisme ini, Fromm mengajukan lima jenis kebutuhan manusia: pertama, keterhubungan (relatedness), kedua, kebutuhan keterberakaran (Rootedness), ketiga, kebutuhantransendensi (transcendency), keempat kebutuhan eksistensial (existencial), dan kelima adalah kebutuhan kerangka orientasi (frame of orientation).
Sebuah Titik Potong: Keterhubungan (Relatedness) dan Narsisme Berhadapan dengan Aspek Sosial Calon Imam
Memahami konsep kebutuhan eksistensial manusia yang pertama ini, atau ‘konsep keterhubungan’ dalam perspektif Erich Fromm merupakan dualisme penting yang kemudian memunculkan konsep ‘narsisme.’Dari segi sifat, kedua konsep ini saling bertentangan dan bahkan ‘narsisme’ bisa dipandang sebagai suatu irrasionalitas jika disandangi dengan konsep ‘keterhubungan.’ Fromm berpandangan bahwa manusia sebagai makhluk sosial dituntut oleh kodratnya untuk untuk menyatakan diri sebagai bagian dari kelompok tertentu.
Dengan sikap dan tindakan ‘bergantung’ pada orang lain, manusia mengatasi eksistensi individualnya. Di sisi, lain, manusia juga adalah makhluk yang otonom dan individual. Maka, untuk mengatasi kesendiriannya, manusia juga bertolak dari eksistensi individualnya yang bertujuan untuk mendominasi orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Di sini, kebutuhan terhadap ketergantungan, Fromm menjelaskan dualisme antara aspek sosial dan aspek individual. Dengan kebutuhan ini, menciptakan jurang antara kebutuhan yang bersumber dari individu Konteks kebutuhan terhadap keterhubungan yang mempunyai dua sisi ambivalen didamaikan dengan konsep cinta menurut Erich Fromm. Cinta menurut Fromm adalah kesatuan dengan syarat, tetap mempertahankan keutuhan pribadi dan preferensi individualnya.[6]
Both submission and the seeking of power to overcome loneliness are characterized by the loss of integrity on the part of the seeker. Fromm describes this syndrome as symbiotic union and refers to it in detail in Escape from Freedom.[7]
Baca Juga: Musik: Medium Ekspresi Diri yang Tak Tergantikan
Gross dalam tesisnya, menjelaskan bahwa, baik dengan menyerahkan diri dan ‘tergantung’ dengan orang lain, maupun dengan usaha untuk mendominasi orang lain untuk mengatasi kesepian, ditandai dengan hilangnya integritas diri dari orang tersebut. Dan Fromm menyebut sindrom ini sebagai persatuan symbiosis. Ini dijelaskan secara terperinci dalam bukunya Escape from Freedom. Dan sebagai kesimpulan, cinta adalah cara bagi manusia untuk mengatasi kesendirian dan juga sebagai jembatan dalam memoderasi ‘ketaatan’ karena sikap ketergantungan terhadap orang lain dan ‘dominasi’ karena kodrat individual manusia; ia menjembatani antara manusia sebagai makhluk sosial dan manusia sebagai individu.
Dalam konteks calon Imam, sebagaimana Gross dalam tesisnya sudah menjelaskan bagaimana konsep keterhubungan dimaknai dalam konteks eklesiologis: The Church Looks at Herself as a Totality. We are looking for signs that the Church regards herself as essentially related to the world around her.[7] Dapat dipahami, bahwa konsep keterhubungan Fromm dalam pandangan Konsili Vatikan II, secara khusus dalam perspektif eklesiologis, melihat bahwa Gereja memandang dirinya sebagai ‘komunitas sosial’ yang terkait dengan semua orang di sekitarnya. Pandangan ini terlepas dari konteks narsisme (yang lazim dalam dualism Fromm) yang kontradiktif dengan konteks Gereja.
Selain itu, dalam aspek pastoral calon Imam, yang memberikan penekanan khusus pada relasi sosial calon Imam dibahas dalam Dekrit Pembinaan Imam, Optatam Totius. Dalam dekrit Optatam Totius, artikel 21 memberikan cakupan konteks pembahasan tentang aspek sosial dari segi pastoral:
Memang perlulah para seminaris tidak hanya secara teoretis mempelajari cara merasul, melainkan melatihnya juga secara praktis, dan mampu bertindak atas tanggung jawab sendiri serta bekerja sama.[8]
Poin pokok yang dimuat dalam artikel ke-21 ini jika dipahami dari konsep ‘ketehubungan’ dan ‘narsisme’ terjawab dalam rumusan kata ‘bertanggungjawab sendiri yang termasuk dalam preferensi individual (narsisme) dan rumusan ‘bekerja sama’ yang melibatkan orang lain (keterhubungan sosial). Instruksi dalam dekrit tersebut, pertama-tama tidak dipahami sebagai sebuah rekomendasi atau upaya untuk mengokohkan preferensi indvidual, seperti tanggungjawab individu dan mengabaikan model relasi sederhana (kerja sama).
Maka, dimensi sosial calon Imam berhadapan dengan dualisme antara individual dan aspek sosial ‘murni.’ Dengan kata lain, aspek sosial murni jika dilihat dari konsep keterhubungan, maka calon Imam menjadi individu yang ‘tergantung’ dan ‘tunduk’ di bawah kontrol penuh orang lain, komunitas atau Pembina. Maka, muncul authoritarianism, yang dalam pengertian Fromm merujuk pada sikap ‘tunduk’ yang menyebabkan calon Imam kehilangan integritasnya sebagai Individu.
Sedangkan, sikap individual yang ‘tinggi’ atau (narsisme) bisa membawa calon Imam pada usaha untuk mendominasi orang lain dan membuat calon imam imam kehilangan aspek sosial. Kebebasan adalah bagian dari citra individual sekaligus ‘narsistis’ yang tidak boleh dilanggar karena tuntutan aspek sosialitas yang ‘tinggi’ berupa ketergantungan terhadap orang lain. Dan apabila calon imam merasa ‘terikat’ dan ‘tunduk’ secara berlebihan, maka, kebebasan menjadi terbelenggu. Di sisi lain, manusia dapat teralienasi karena ‘pemujaan’ terhadap semua preferensi individual.
Kesimpulan
Konsep ‘keterhubungan’ (relatedness) dari Erich Fromm datang dengan bentuknya yang dualistis. Ini juga mempunyai implikasi bagi kehidupan calon Imam secara khusus dalam aspek sosial. Calon imam diharapkan agar membangun relasi sosial, namun hal yang harus dipertimbangkan adalah soal integritas individu. Calon imam dalam membangun relasi sosial, harus mempertimbangkan dengan tuntutan eksistensial secara individual. Bahwa, di satu sisi, calon imam adalah makhluk sosial, namun di sisi lain, calon imam adalah individu yang tidak terikat selamanya terhadap sesama.
Daftar Pustaka
[1] Yohanes T. Setyawan, “Pembelajaran dan Pengetahuan: Studi Mendasari Kemuridan dan Kesaksian Imam,” Melintas, vol. 34, no. 3, 2018, doi: 10.26593/mel.v34i3.3461.291-315.
[2] Theguh Saumantri dan Jefik Z. Hafizd, “Rekonstruksi Psikoanalisis Humanis Dialektik Erich Fromm dalam Pendidikan Pesantren,” Rausyan Fikr J. Ilmu Stud. Ushuluddin dan Filsafat, vol. 18, no. 1, pp. 111–133, 2022.
[3] T. Saumantri, “Konsep Manusia Dalam Teori Psikoanalisis Humanis Dialektik Erich Fromm,” Sanjiwani J. Filsafat, vol. 13, no. 2, 2022, doi: 10.25078/sanjiwani.v13i2.1282.
[4] Joko Wicoyo, “Konsep Manusia Menurut Erich Fromm (Studi tentang Aktualisasi Perilaku),” J. Filsafat, pp. 19–24, 1994, doi: https://doi.org/10.22146/jf.31758.
[5] N. Mujiati, P. Islam, and S. T. Agama, “Pola Asuh Orang Tua Dalam Membentuk Kepribadian Anak Di Desa Warugunung Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto,” J. Stud. Sos. dan Ekon., vol. 4, no. 2, pp. 156–170, 2023.
[6] N. Sutikna, “Ideologi Manusia Menurut Erich Fromm (Perpaduan Psikoanalisis Sigmund Freud dan Kritik Sosial Karl Marx),” J. Filsafat, vol. 18, no. 2, pp. 1–18, 2008.
[7] F. L. Gross, “ERICH FROMM AND VATICAN COUNCIL II: HUMANISTIC AND AUTHORITARIAN ATTITUDES,” University of Ottawa, 1972.
[8] K. V. II, “Optatam Totius (Yang diinginkan Bagi Seluruh Gereja),” in Dokumen Konsili Vatikan II (28 Oktober 1965), Jakarta: DOKPEN KWI, 2022, pp. 1–31.