Menilik Sanksi Adat Terhadap Pelanggaran Adat Gamia Gamana di Desa Pakraman Undisan Kelod, Bangli, Bali

Ilustrasi foto/Unsplash
Ilustrasi foto/Unsplash

Seorang kakek I MD alias JD berusia 59 tahun melakukan tindakan asusila persetubuhan badan terhadap cucu kandungnya sendiri Ni Luh RM berusia 14 tahun hingga hamil. Aksi bejat ini mencoreng hukum adat yang berlaku di Desa Pakraman dan juga melanggar aturan hukum positif di Indonesia.

Menindaklanjuti pelanggaran adat gamia gamana, prajuru desa bersama krama desa menjatuhkan sanksi sangaskara danda terhadap pelaku sebagai bagian dari kewenangan desa. Perbuatan asusila tersebut menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam awig-awig desa pakraman.

Bacaan Lainnya

Namun, sanksi yang dijatuhkan tergolong ringan, hanya berupa upacara pembersihan bagi pelaku dan upacara pembersihan untuk kesucian desa pakraman.

Eksistensi desa adat masyarakat Bali diakui sebagai bagian dari masyarakat adat yang menjaga nilai-nilai budaya dan identitasnya. Sebagai desa adat, masyarakat Bali wajib menjaga keharmonisan demi keberlangsungan hidup yang seimbang.

Apabila terjadi gangguan keseimbangan, desa adat akan mengenakan sanksi bagi mereka yang merusak keseimbangan dan merugikan desa adat tersebut. Hukum adat yang berlaku dalam desa pakraman bersifat dominan dan mutlak wajib dipatuhi oleh siapa pun yang tinggal di sana.

Guna mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan kakek yang menyetubuhi cucunya sendiri, prajuru adat bersama krama adat desa pakraman memberikan sanksi adat yang berdasarkan awig-awig Desa Pakraman Undisan Kelod dalam Pawos Pasal 46 (2) huruf f.

Pelaku dijatuhi sanksi berupa penghapusan hak ke tempat suci dan tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas desa. Namun, jika pelaku meninggal dunia, ia tetap diperbolehkan dimakamkan di setra (kuburan desa).

Penerapan sanksi adat sangaskara danda dalam kasus ini mencakup Upakara Pangresigana Karang dan Upakara Metelah-telah, yang bertujuan mengembalikan status korban menjadi lajang. Pelaku juga diwajibkan menerima tirta (air suci) dari Upakara Pangresigana Karang tersebut. Kebijakan desa pakraman juga mencakup pengembalian status korban menjadi lajang, serta permintaan agar anak yang dilahirkan dapat diadopsi oleh pihak keluarga.

Selain sanksi adat, pelaku juga menghadapi sanksi hukum berdasarkan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, sanksi adat dan hukum positif saling melengkapi sebagai pedoman bagi masyarakat adat dalam berperilaku agar tidak melanggar norma adat dan hukum yang berlaku.

Keberadaan desa adat Bali telah berlangsung sejak ratusan bahkan ribuan tahun. Masyarakat desa adat Bali berusaha menjaga warisan leluhur mereka agar keseimbangan tatanan hidup tetap terjaga. Selain itu, masyarakat desa adat juga melestarikan budaya yang telah diwariskan turun-temurun dengan sangat baik.

Dalam menjaga keseimbangan, masyarakat desa adat Bali menyusun aturan atau norma yang mengatur pola hidup dan perilaku individu guna menghindari pelanggaran yang dapat merugikan masyarakat desa adat.

Aturan atau norma ini wajib ditaati oleh siapa pun yang tinggal di desa adat tersebut. Jika ada pelanggaran, maka sanksi akan diterapkan sesuai dengan tujuan aturan itu dibuat, yakni menjaga ketertiban dan keamanan dalam masyarakat adat.

Hukum adat telah ada jauh sebelum hukum positif Indonesia yang berasal dari sistem hukum Barat peninggalan kolonial Belanda. Eksistensi hukum adat ini bahkan diakui dalam Pasal 18 B (2) UUD 1945. Sayangnya, globalisasi membuat hukum adat semakin tergerus, menyebabkan kesulitan dalam melestarikan dan mempertahankan budaya adat.

Berbagai upaya dilakukan masyarakat adat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya mereka. Salah satu langkah strategis adalah mengintegrasikan budaya adat dalam sistem pendidikan agar generasi muda tetap memiliki kesadaran akan pentingnya pelestarian adat. Selain itu, promosi budaya Indonesia di kancah internasional menjadi upaya agar adat istiadat tetap dihormati dan tidak punah.

Sebagai bagian dari bangsa yang kaya akan budaya, masyarakat modern diharapkan ikut serta dalam menjaga adat dan budaya. Pelestarian nilai-nilai adat tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat adat semata, tetapi juga seluruh elemen bangsa yang menghargai warisan leluhur. Dengan demikian, hukum adat tetap memiliki tempat yang kokoh dalam menjaga keseimbangan sosial dan spiritual masyarakat desa adat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *