Hukum adat di Indonesia memiliki peran vital dalam menjaga harmoni sosial di tengah masyarakat yang majemuk. Di Bali, salah satu bentuk sanksi adat yang masih bertahan hingga kini adalah kasepekang, yakni pengucilan atau pemboikotan sosial terhadap individu atau kelompok yang dianggap melanggar norma adat.
Praktik ini bukan hanya merupakan bentuk hukuman sosial, tetapi juga menjadi alat kontrol sosial yang bertujuan menjaga keteraturan dan keutuhan nilai-nilai lokal dalam masyarakat adat.
Dalam masyarakat Bali, keberadaan desa adat sebagai institusi sosial dan budaya memainkan peran penting dalam mengatur tatanan hidup warganya. Di sinilah sanksi kasepekang menjadi instrumen tegas untuk memastikan kepatuhan terhadap norma dan adat istiadat yang telah diwariskan turun-temurun.
Namun, dengan perkembangan zaman, meningkatnya kesadaran akan hak asasi manusia, serta pengaruh kuat hukum nasional, keabsahan dan penerapan kasepekang mulai dipertanyakan oleh banyak pihak.
Secara etimologis, istilah “kasepekang” berasal dari kata “sepek”, yang berarti putus atau terisolasi. Seseorang yang dikenai sanksi kasepekang secara otomatis kehilangan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan ekonomi di lingkungannya.
Ia dijauhi oleh masyarakat, bahkan dalam beberapa kasus, akses terhadap fasilitas publik yang dikelola desa adat dapat dicabut. Pelanggaran yang mengarah pada kasepekang bisa berupa penolakan terhadap keputusan desa adat, pelanggaran adat pernikahan, atau tindakan yang merusak keharmonisan komunitas.
Konsep hukum adat Bali sangat erat kaitannya dengan prinsip Tri Hita Karana, yakni keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Ketika seseorang melanggar prinsip ini, dianggap terjadi gangguan dalam harmoni komunitas, sehingga sanksi sosial seperti kasepekang dipandang sebagai jalan untuk memulihkan keseimbangan tersebut.
Sanksi kasepekang tidak hanya berdampak pada relasi sosial, tetapi juga pada kondisi psikologis dan ekonomi seseorang. Dikucilkan dari lingkungan sosial dalam masyarakat Bali berarti kehilangan tempat dalam struktur sosial yang sangat komunal. Tidak sedikit kasus di mana individu yang dikenai sanksi mengalami stres, trauma, hingga kehilangan mata pencaharian karena tidak lagi mendapatkan dukungan sosial dari komunitasnya.
Di era modern ini, ketika prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak individu semakin mendapatkan tempat, penerapan kasepekang sering kali diperdebatkan. Apalagi jika sanksi tersebut dijatuhkan tanpa proses mediasi yang adil dan transparan.
Studi Kasus dan Polemik di Masyarakat
Beberapa kasus kasepekang mencuat ke permukaan dan menjadi perdebatan publik. Di Gianyar, seorang warga dikenai sanksi karena menolak ikut serta dalam upacara adat dan enggan memberikan kontribusi untuk kegiatan keagamaan. Ia pun dilarang mengikuti kegiatan sosial dan keagamaan desa.
Di Karangasem, seorang perempuan yang menikah dengan pria dari luar Bali terkena sanksi karena dianggap tidak lagi mematuhi adat. Kasus-kasus seperti ini memperlihatkan betapa kuatnya posisi desa adat dalam menegakkan hukum tradisional, namun di sisi lain menimbulkan dilema ketika berhadapan dengan prinsip kesetaraan dan kebebasan individu.
Tahun 2019, terjadi kasus yang cukup kontroversial ketika seorang tokoh masyarakat dikucilkan karena mengkritik kebijakan pengelolaan dana desa. Sanksi tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi negara. Peristiwa ini memantik diskusi publik terkait batasan wewenang desa adat dan hak warga negara.
Dalam konteks hukum nasional, Indonesia mengakui keberadaan dan kewenangan masyarakat hukum adat sebagaimana tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Negara memberikan ruang bagi hukum adat selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara dan hak asasi manusia. Artinya, hukum adat harus tetap tunduk pada hukum nasional ketika terjadi konflik norma.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali memperkuat legitimasi hukum adat, termasuk dalam menjatuhkan sanksi seperti kasepekang. Namun, peraturan tersebut juga menggarisbawahi bahwa pelaksanaan sanksi adat harus tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara telah menegaskan bahwa meskipun hukum adat diakui, pelaksanaannya tidak boleh melanggar hak dasar yang dijamin konstitusi. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan mekanisme mediasi dan dialog sebelum sanksi adat dijatuhkan, guna menghindari potensi pelanggaran hak dan munculnya konflik sosial berkepanjangan.
Keberadaan kasepekang sebagai sanksi adat tentu memiliki fungsi sosial yang tidak bisa dikesampingkan. Ia menjadi simbol ketegasan dalam menjaga nilai dan norma yang berlaku di masyarakat adat Bali. Namun, dalam menghadapi kompleksitas masyarakat modern, hukum adat perlu bersikap adaptif dan terbuka terhadap nilai-nilai universal.
Desa adat sebagai pelaksana utama hukum adat sebaiknya mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan konflik. Penerapan sanksi semestinya menjadi langkah terakhir setelah semua upaya rekonsiliasi dilakukan. Pemerintah daerah pun harus hadir sebagai fasilitator agar hukum adat berjalan sejalan dengan prinsip negara hukum.
Edukasi kepada masyarakat adat mengenai hak-hak konstitusional mereka menjadi penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan sanksi adat. Kesadaran ini tidak hanya akan mendorong keadilan, tetapi juga menjaga nilai-nilai kearifan lokal agar tetap hidup dalam semangat zaman.
Kesimpulan
Sanksi kasepekang dalam hukum adat Bali merupakan warisan budaya yang mencerminkan sistem sosial yang kuat. Namun, ia juga menghadapi tantangan besar dalam era yang mengedepankan hak asasi manusia dan supremasi hukum.
Keseimbangan antara pelestarian nilai adat dan penghormatan terhadap hak individu harus menjadi fokus dalam setiap proses penegakan hukum adat. Dengan cara ini, hukum adat akan tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan masyarakat Bali modern tanpa kehilangan jati dirinya sebagai penjaga nilai dan identitas budaya.