Sejarah Kekerasan Indonesia di Timor – Timur dalam Kumpulan Cerpen Saksi Mata Karya Seno Gumira Ajidarma

Ilustrasi Sejarah kekerasan Indonesia di Timor – Timur dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sumber: https://pixabay.com/id/photos/perpustakaan-buku-dublin-irlandia-2507902/
Ilustrasi Sejarah kekerasan Indonesia di Timor – Timur dalam kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sumber: https://pixabay.com/id/photos/perpustakaan-buku-dublin-irlandia-2507902/

“Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.” Pernyataan Seno Gumira Ajidarma tersebut menggambarkan pentingnya karya sastra dalam menceritakan suatu peristiwa yang tidak dapat secara bebas dibicarakan oleh jurnalis dan media massa. Pada catatan penulis dalam buku Saksi Mata SGA juga mengatakan bahwa:

“Saya hanya bisa mengatakan, situasi ini sangat khas di masa Orde Baru. Kami, para pekerja pers masa itu, telah akrab dengan ketakutan. Sebagian bisa main-main dengan ketakutan, sebagian lagi memelihara ketakutan itu, juga setelah Orde Baru tumbang.” (Ajidarma, S.G. 2016: ix)

Bacaan Lainnya

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pada masa Orde Baru, suatu pemberitaan masih sangat dibatasi peredarannya oleh pemerintah atau tidak adanya kebebasan dalam memberitakan suatu kejadian. Pemerintah tidak akan segan-segan memberangus mereka yang mengkritik dan beroposisi dengan pemerintah. Pada hal ini, keputusan pemerintah menjadi sesuatu yang mutlak tanpa memandang apakah ada pihak yang dirugikan atau tidak.  Dengan demikian, melalui sastra semua hal yang tidak diberitakan itu dapat disampaikan.

Buku kumpulan cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma memiliki tema yang sama dan sepadan yaitu penindasan terhadap kebebasan rakyat, penderitaan, peperangan, pengkhianatan, dan perjuangan. Cerpen – cerpennya juga banyak menyajikan hal – hal yang di luar nalar, seperti pada cerpen Saksi Mata tokohnya digambarkan tanpa mata, pada cerpen Telinga diceritakan kejadian pemotongan telinga oleh aparat yang bertugas di medan perang, dan masih banyak yang lain. Terlepas dari benar atau salah, buku ini bisa saja menceritakan kejadian yang barangkali disembunyikan atau tidak diketahui oleh banyak orang.

Berlatar pada peristiwa Santa Cruz di Timor – Timur, SGA yang bekerja sebagai wartawan atau jurnalis menulis berita pembantaian yang terjadi di Timor – Timur pada saat itu. Berita tersebut akhirnya menimbulkan kehebohan di kalangan masyarakat, atas hal tersebut pemerintah memecat SGA dari posisinya di majalah Jakarta – Jakarta. Berdasarkan kisah pembantaian yang terjadi pada tahun 1991 tersebut, SGA menceritakan semua hal yang tidak dapat diberitakan di media massa melalui cerpen – cerpennya.

Tragedi Santa Cruz yang terjadi di Dili, Timor – Timur merupakan tragedi pembantaian berdarah TNI terhadap demonstran Timor – Timur di kuburan Santa Cruz. Pembantaian ini sangat dibatasi dalam hal pemberitaannya, dengan demikian SGA menuliskannya menjadi beberapa cerpen.

Arifin (2019:49), pada jurnalnya mengatakan bahwa “Pada 10 Januari 2006, presiden eks-Timor – Timur, Xanana Gusmoa menyampaikan laporan Komisi Penerimaan Kebenaran  dan  Rekonsiliasi  Timor Leste  (CAVR)  kepada Sekjen  PBB.  Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa militer Indonesia berusaha membasmi warga Timor  Timur dengan meracuni makanan dan air, menggunakan napalm dan bahan kimia lainnya.”

Dengan disampaikannya laporan tersebut, tidak menutup kemungkinan pelanggaran HAM yang telah berlangsung dan telah diadili di pengadilan Indonesia dapat ditinjau kembali, bisa jadi oleh PBB. Tindakan kekerasan itu dapat dilacak melalui karya sastra Seno Gumira Ajidarma, salah satunya adalah cerpen Saksi Mata.

Cerpen yang berjudul Saksi Mata ditulis pada tahun 1992 tepat setelah Seno dipecat dari majalah Jakarta – Jakarta pasca memberitakan insiden Dili. Cerpen ini menampilkan seorang tokoh yang bersaksi di depan pengadilan dengan mata yang telah dicongkel menggunakan sendok. Tokoh ini nampaknya adalah sebuah manifestasi kondisi Seno sendiri sebagai jurnalis yang dipecat dengan analogi dicongkel matanya, atau bahwa Seno dilarang melihat dan memberitakan kejadian-kejadian yang terjadi pada tragedi Dili tersebut secara nyata dan terang-terangan.

Dalam buku Saksi Mata banyak digambarkan kekerasan dan ketidakadilan yang diderita masyarakat, ketidakadilan tersebut digambarkan sangat jelas dan lugas. Nasib buruk yang diterima masyarakat tergambar jelas dalam beberapa cerpen dalam buku ini.

“… Kami adalah orang-orang yang sudah tak bisa lagi merasa kehilangan karena kehilangan telah menjadi kekayaan hidup kami….” (Ajidarma. 2016: 25)

Pada kutipan cerpen berjudul Manuel tersebut, terlihat bahwa orang-orangnya telah terbiasa dengan kehilangan sampai-sampai hal tersebut menjadi sebuah kekayaan bagi mereka. Hal ini juga menjelaskan bahwa tragedi Santa Cruz banyak memakan korban, hingga menjadi suatu kekayaan tersendiri bagi tragedi tersebut.

Dari segi kepemerintahan, SGA juga mengkritik keras pejabat yang menerima suap dan korupsi. Dapat dilihat pada kutipan berikut.

“… Demi Tuhan saya bersumpah, saya tidak pernah memeras orang. Tapi, kalau dikasih stick golf, ya, diterima. Terus terang saja. Ya, masak kalau jadi pejabat tidak dapat hal begitu. Jujur saja. Pejabat, kan, kayanya dari situ. Gaji kecil, tapi tipnya yang gede.”

Pada kutipan cerpen di atas yang berjudul Darah Itu Merah, Jenderal, dijelaskan bahwa sang jenderal secara terang-terangan mengatakan jika pejabat tidak mungkin tidak pernah mendapat ‘tip’, bahwa kekayaan para pejabat bersumber dari ‘tip’ tersebut. Hal ini masih menjadi suatu fakta hingga saat ini, bahwasanya banyak pejabat yang tersandung kasus korupsi dan suap di Indonesia.

Pada cerpen yang berjudul Listrik, Seno mengisahkan sejarah penemuan listrik yang tidak hanya berguna untuk menyalakan lampu, tetapi juga menyiksa para tawanan. Dalam cerpen ini juga digambarkan bahwa kedunguan serdadu atau prajurit yang hanya bisa bicara kata ‘siap’ kepada komandannya. Hal ini menggambarkan bahwa perintah dari atasan adalah sesuatu yang wajib dilakukan dan tidak dapat dilanggar, jika dilanggar sama saja dengan menyetorkan nyawa dengan gaya.

Selain tema-tema yang telah dijelaskan, SGA juga sering menyoroti aspek-aspek kemanusiaan dalam karya sastranya. SGA menggambarkan sebuah penderitaan, kesengsaraan, dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Selain itu, ia juga banyak mengangkat isu-isu sosial berdasarkan kisah nyata yang ditulis menjadi sebuah karya sastra.

Referensi

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *