Hilirisasi nikel telah menjadi salah satu jargon yang kerap disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat membahas pertambangan nikel, terutama dalam konteks transisi menuju kendaraan listrik dan energi hijau. Namun, apakah hilirisasi ini benar-benar didorong oleh kepentingan negara, ataukah justru menyimpan agenda eksploitasi terselubung?
Pertanyaan lain yang muncul: Apakah pemerintah sudah sepenuhnya bertanggung jawab, termasuk memastikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dipatuhi secara ketat dan komitmen terhadap dampak jangka panjang?
Faktanya, hilirisasi nikel sering kali mendapat penolakan dari masyarakat lokal, terutama di wilayah-wilayah tempat industri ini dibangun. Masyarakat setempat dihadapkan pada berbagai permasalahan serius, salah satunya pencemaran sungai yang mematikan ekosistem flora dan fauna di sana.
Salah satu contohnya adalah kondisi yang terjadi di Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Pulau Halmahera, sebagai salah satu pusat cadangan nikel terbesar di Indonesia, menjadi lokasi yang sangat strategis bagi pemerintah untuk membangun PT Industri Nikel Weda Bay pada Agustus 2018.
Namun, sejak awal operasinya, PT IWIP (Indonesia Weda Bay Industrial Park) menunjukkan sejumlah penyimpangan dalam proses penambangannya. Mereka mengabaikan regulasi AMDAL yang seharusnya menjadi acuan utama, menyebabkan penderitaan bagi masyarakat sekitar.
Dalam kurun waktu lima tahun, aktivitas pertambangan ini telah mencemari tiga sungai besar, yakni Sungai Wosia, Sungai Ake Doma, dan Sungai Kobe. Air di ketiga sungai ini dilaporkan berubah menjadi merah kecoklatan, menandakan adanya kontaminasi berat akibat material tambang.
Baca Juga: Krisis Akhlak di Kalangan Pelajar: Bagaimana PAI Dapat Menjadi Solusi?
Selain itu, warga lokal juga mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM), mulai dari perampasan lahan hingga ancaman terhadap keberlangsungan beberapa desa. Laporan dari Climate Rights International yang dirilis pada Januari lalu menyoroti bahwa industri nikel di Halmahera merupakan penyebab utama deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Selama beberapa tahun terakhir, sekitar 5.331 hektar hutan telah diratakan, dan 2,04 metrik ton gas rumah kaca dilepaskan dari hutan yang sebelumnya menyimpan karbon tersebut.
Deforestasi ini bukan hanya menyebabkan pemanasan global, tetapi juga meningkatkan risiko banjir dan mengancam kelangsungan hidup satwa liar yang kehilangan habitatnya.
Aktivis lingkungan dari Save Sagea, Adlun Fiqri, secara tegas menolak proyek hilirisasi nikel di Weda. “Yang menanggung beban dan penderitaan ke depan ketika lingkungan ini rusak adalah masyarakat yang tinggal di sini. Mereka mengklaim hilirisasi nikel ini untuk kendaraan listrik yang ramah lingkungan, tapi itu omong kosong belaka,” ujarnya.
Dalam pandangan saya, pemerintah harus lebih serius dalam menangani isu lingkungan hidup yang telah merambah ke ranah pelanggaran HAM. Pemerintah harus menindak tegas pelanggaran ini untuk memastikan Indonesia tetap dipandang sebagai negara yang peduli terhadap keseimbangan ekosistem global.
Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.