Bayangkan Anda adalah seorang pedagang kecil di pasar tradisional. Setiap hari, di tengah hiruk-pikuk menjajakan dagangan, terselip satu kekhawatiran yang mengganggu pikiran: apakah retribusi yang Anda bayarkan benar-benar masuk ke kas daerah, atau justru berhenti di saku oknum petugas lapangan? Kecemasan ini bukan hal asing di berbagai pelosok Indonesia.
Namun, Kabupaten Pekalongan tampil sebagai pengecualian dengan memperkenalkan e-retribusi, sebuah solusi digital revolusioner yang memotong rantai kebocoran dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Masalah kebocoran dalam pungutan retribusi daerah telah lama menjadi isu klasik. Sistem manual yang selama ini digunakan menciptakan celah besar bagi penyimpangan. Uang tunai kerap tidak disetorkan sepenuhnya, pencatatan pembayaran tidak transparan, hingga praktik pungutan liar yang merajalela. Situasi ini bukan hanya menggerogoti Pendapatan Asli Daerah (PAD), tetapi juga menciptakan jarak dan ketidakpercayaan antara warga dan pemerintah.
Maka, kehadiran inovasi digital menjadi angin segar dalam perbaikan tata kelola. Teori inovasi dalam pelayanan publik yang dikemukakan oleh Damanpour (1991) menyatakan bahwa adopsi teknologi berperan penting dalam meningkatkan efisiensi serta efektivitas organisasi sektor publik.
Salah satu wujud nyata dari penerapan teori tersebut adalah digitalisasi layanan, yang mampu mempercepat transformasi birokrasi menjadi lebih responsif, akuntabel, dan terbuka.
Di sinilah letak keistimewaan e-retribusi Kabupaten Pekalongan. Sejak tahun 2022, sistem ini diujicobakan di tiga pasar besar: Pasar Kedungwuni, Pasar Kajen, dan Pasar Wiradesa. Melalui kolaborasi dengan Bank Jateng, transaksi pembayaran retribusi dilakukan secara nontunai.
Pedagang cukup menggesek kartu di mesin MPOS, tanpa perlu menyerahkan uang langsung kepada petugas. Alur dana menjadi jelas, dan risiko penyimpangan bisa ditekan secara signifikan.
Sistem ini tidak berdiri sendiri. Pemerintah Kabupaten Pekalongan menggandeng pihak ketiga sebagai pengembang sistem, membentuk ekosistem digital yang menyinergikan peran pemerintah, perbankan, dan pelaku pasar.
Dengan sistem yang saling terhubung, data pedagang, jumlah retribusi, hingga histori pembayaran dapat dipantau secara real time. Transparansi meningkat tajam, begitu pula efisiensi kerja petugas di lapangan. Pengawasan internal pun menjadi lebih mudah karena berbasis data, bukan lagi sekadar laporan manual yang rentan manipulasi.
Hasilnya sudah mulai terlihat. Beberapa laporan menyebutkan peningkatan penerimaan dari sektor retribusi pasar sejak digitalisasi ini diterapkan. Pemerintah Kabupaten Pekalongan pun tidak berhenti di situ.
Mereka terus memperbaiki dan mengembangkan sistem yang ada, termasuk dengan menjalin komunikasi lintas daerah seperti Kabupaten Kudus yang mengembangkan metode serupa. Hal ini menjadi bukti bahwa inovasi di sektor pelayanan publik bisa menjadi inspirasi dan mendorong kompetisi sehat antarwilayah.
Namun, e-retribusi bukan sekadar urusan teknis digitalisasi. Lebih dari itu, sistem ini menyentuh aspek mendasar dalam pelayanan publik: penghormatan terhadap hak warga negara. Pedagang merasa dihargai karena diperlakukan sebagai bagian dari sistem modern yang transparan.
Tidak ada lagi kekhawatiran akan pungli atau ketidakjelasan alur dana. Kepercayaan terhadap pemerintah pun tumbuh seiring dengan hilangnya praktik-praktik lama yang penuh celah korupsi.
Uniknya, e-retribusi juga bisa dikaji dari perspektif ekonomi syariah. Dalam sistem ini, relasi antara pemerintah dan pedagang serupa dengan akad ijarah dalam fikih muamalah, di mana penyedia jasa (pemerintah) menyediakan layanan seperti sewa lapak dan kebersihan, sementara pengguna jasa (pedagang) membayar dengan ketentuan yang jelas.
Sistem manual yang dulu digunakan kerap menimbulkan ketidakadilan: pedagang membayar, tetapi fasilitas tidak memadai, atau dipungut lebih dari seharusnya. Digitalisasi menutup celah tersebut. Jumlah retribusi sudah ditentukan, tidak bisa diubah sembarangan, dan pembayaran langsung masuk ke rekening resmi pemerintah.
Sistem ini juga menyingkirkan unsur gharar (ketidakjelasan) dan maysir (spekulasi) dalam transaksi publik. Artinya, e-retribusi tidak hanya menjamin efisiensi, tetapi juga menegaskan prinsip keadilan dan kejelasan akad (akad mubeen). Inilah nilai tambah dari inovasi yang berakar pada prinsip tata kelola yang bersih dan halal.
Ke depan, jika sistem ini terus dikembangkan, bukan tidak mungkin dapat diintegrasikan dengan instrumen keuangan sosial Islam lainnya seperti zakat dan infaq digital. Dengan begitu, ekosistem keuangan daerah tidak hanya efisien, tetapi juga membawa keberkahan dan manfaat sosial yang lebih luas.
Inovasi pelayanan publik sejatinya tidak memerlukan teknologi canggih atau biaya besar. Yang dibutuhkan adalah komitmen politik, pemahaman teknologi yang tepat guna, dan kesadaran nilai dalam pelayanan.
Kabupaten Pekalongan telah menunjukkan bahwa inovasi sederhana seperti e-retribusi mampu memberikan dampak luar biasa: dari peningkatan PAD, pemberantasan pungli, hingga munculnya pelayanan publik yang sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Sudah saatnya daerah lain mengikuti langkah serupa. Karena pada akhirnya, transparansi dan keadilan bukan hanya impian kosong atau slogan di baliho, melainkan hak setiap warga negara.