Dalam beberapa tahun terakhir, game dengan sistem free-to-play (F2P) semakin mendominasi pasar game online. Janji utamanya sederhana: mainkan game ini tanpa perlu membayar sepeser pun. Namun, di balik janji manis tersebut, ada jebakan yang sering kali berakhir dengan kecanduan, khususnya pada game yang menggunakan sistem gacha.
Iklan F2P sangat menggoda. Mereka menjual mimpi akan hiburan berkualitas tanpa biaya. Video iklan pada game gacha sering kali menampilkan pengalaman bermain yang seru, hadiah besar yang mudah didapatkan, atau berbagai karakter keren yang membuat pemain ingin segera mencobanya. Di sinilah strategi pemasaran bekerja dengan efektif. Pemain masuk dengan ekspektasi mendapatkan segalanya secara cuma-cuma.
Namun, kenyataannya jauh berbeda. Saat pemain mulai menikmati permainan, mereka dihadapkan pada berbagai batasan—dari energi permainan yang terbatas hingga item langka yang sulit didapatkan tanpa menggunakan uang sungguhan. Pemain akhirnya terdorong untuk mencoba fitur gacha, sistem undian berbayar yang memanfaatkan ketidakpastian untuk menarik mereka berinvestasi.
Gacha, pada intinya, menyerupai mekanisme perjudian. Pemain menghabiskan uang untuk membuka kotak hadiah virtual dengan peluang kecil mendapatkan item tertentu. Saat ini, iklan sering menampilkan momen “keberuntungan” pemain mendapatkan hadiah langka atau karakter kuat.
Baca Juga: Mengenal Tarian Haka Asal Suku Maori yang Dilakukan di Parlemen New Zealand
Dengan menggunakan kata-kata manis seperti “dapatkan karakter dalam 50 penarikan!” hal ini terlihat mudah dan menggiurkan. Padahal, kenyataannya peluang mendapatkan hadiah tersebut sangat kecil, dan banyak pemain harus merogoh kocek dalam untuk meraihnya.
Mekanisme ini memanfaatkan prinsip psikologi seperti variabel reward schedule, yang membuat otak merasa senang meskipun hadiah besar jarang didapatkan. Semakin sering pemain “beruntung”, semakin besar dorongan untuk terus mencoba, bahkan ketika mereka sudah menghabiskan uang dalam jumlah besar.
Kecanduan pada game gacha sering kali diabaikan oleh masyarakat karena game dianggap sebagai hiburan ringan. Namun, laporan menunjukkan bahwa banyak pemain, terutama remaja, menghabiskan ratusan hingga ribuan dolar karena terjebak dalam siklus gacha.
Ketergantungan ini juga diperburuk oleh FOMO (Fear of Missing Out), yang dieksploitasi melalui iklan dengan iming-iming “karakter terbatas” atau “event waktu tertentu”. Sistem game seperti ini mengundang para pemain lama maupun baru untuk terus menerus menghabiskan uang dalam jumlah besar agar bisa mendapatkan karakter yang sedang trending.
Industri game F2P dengan sistem gacha saat ini masih minim regulasi, terutama di negara-negara berkembang. Padahal, mekanisme seperti ini layak diperlakukan seperti perjudian, dengan pengawasan ketat dan transparansi peluang. Selain itu, perlu ada edukasi kepada masyarakat tentang bahaya sistem gacha dan cara mengelola keuangan dalam game.
Terutama bagi pengguna yang masih di bawah umur, yang biasanya belum memahami pentingnya mengelola keuangan pribadi. Mengingat mayoritas pemain game gacha online adalah anak-anak hingga remaja, ditakutkan terjadi pengeluaran impulsif tanpa seizin orang tua mereka, yang dapat menyebabkan kebangkrutan atau kerugian finansial.
Iklan free-to-play mungkin terlihat seperti tawaran yang menggiurkan, tetapi sering kali mereka menjadi pintu gerbang menuju kecanduan yang merugikan. Pemain harus lebih waspada terhadap jebakan ini, sementara pemerintah dan pengembang game memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ekosistem yang lebih sehat. Hiburan tidak seharusnya dibayar dengan kehilangan kendali dan kesehatan finansial.
Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.