Di tengah tantangan pendidikan global, krisis moral kian menjadi perhatian, terutama dalam dunia pendidikan. Salah satu isu krusial yang muncul adalah perilaku beberapa pendidik yang sering berbicara kasar atau tidak pantas saat mengajar di kelas. Hal ini bukan hanya masalah personal, tetapi juga mencerminkan kondisi budaya dan lingkungan di institusi pendidikan itu sendiri.
Seorang guru, terutama guru Pendidikan Agama Islam (PAI), memegang peran penting dalam membentuk karakter dan akhlak siswa. Mereka seharusnya menjadi contoh bagi murid-muridnya, mencerminkan akhlakul karimah, agar siswa dapat meneladani perilaku yang baik.
Namun, kenyataannya, di era modern ini, banyak guru yang gagal menjalankan peran teladan tersebut. Dalam beberapa kasus, bahkan terjadi penggunaan bahasa kasar oleh guru di hadapan siswa, yang tentunya sangat mempengaruhi persepsi siswa tentang moralitas.
Guru agama Islam seharusnya menjadi garda depan dalam membentuk moral yang kuat pada siswa. Namun, di banyak sekolah, kita masih menemukan guru yang tidak mampu menjalankan peran ini dengan baik. Tindakan tidak patut, seperti berbicara kasar di kelas, telah menjadi salah satu bentuk kegagalan seorang pendidik.
Ketika seorang guru, yang seharusnya menjadi contoh, berbicara dengan bahasa yang tidak pantas, siswa mungkin berpikir, “Jika guru saja tidak bisa menjaga akhlak, mengapa saya harus bersikap baik?”
Pemikiran seperti ini sangat berbahaya dan bisa merusak karakter generasi muda. Dalam jangka panjang, kebiasaan buruk ini dapat membuat siswa terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa yang tidak pantas, bahkan menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Sebagai contoh nyata, di salah satu sekolah X, seorang guru PAI diketahui sering berbicara kasar ketika siswa kesulitan memahami materi. Tindakan ini tentu sangat tidak pantas dan menyimpang dari etika seorang pendidik.
Seorang guru yang ideal haruslah memiliki kesabaran dan rasa kasih sayang kepada murid-muridnya, bahkan ketika siswa mengalami kesulitan belajar. Jika seorang pendidik memiliki rasa cinta dan dedikasi terhadap muridnya, ia akan mengajar dengan hati yang ikhlas, tanpa menggunakan kata-kata kasar.
Namun, ada pandangan yang membela tindakan guru tersebut, dengan alasan bahwa guru merasa tersinggung oleh perilaku murid. Pendapat ini sangat disayangkan. Bukankah seorang pendidik seharusnya memiliki kesabaran yang lebih luas dan pemahaman mendalam tentang psikologi anak?
Sebagai panutan, guru dituntut memiliki kemampuan mengendalikan emosi dan berinteraksi dengan cara yang mendidik, bukan malah mencontohkan perilaku yang tidak pantas.
Penggunaan bahasa kasar oleh seorang guru tentu membawa dampak yang serius bagi siswa. Pertama, tindakan ini merusak citra guru sebagai figur otoritas moral di kelas. Kedua, rasa hormat siswa terhadap guru akan berkurang, bahkan hilang sama sekali. Jika hal ini terus dibiarkan, proses pembelajaran bisa menjadi tidak kondusif.
Lebih jauh, hal ini juga akan mengikis nilai-nilai sopan santun dan etika yang seharusnya tertanam pada diri siswa sejak dini. Lambat laun, siswa akan kehilangan pemahaman tentang pentingnya berkomunikasi dengan bahasa yang baik dan benar, sesuai norma.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku tidak pantas dari seorang guru. Salah satunya adalah tekanan yang dirasakan oleh guru dari tuntutan kurikulum yang sering kali tidak realistis. Dalam banyak kasus, guru dipaksa untuk mencapai target pembelajaran dengan metode yang ekstrem, bahkan dengan cara yang tidak sehat. Kurangnya pelatihan profesional juga menjadi penyebab lain. Banyak pendidik yang tidak mendapatkan pelatihan yang cukup terkait etika dan komunikasi di lingkungan pendidikan.
Baca Juga: Krisis Akhlak di Kalangan Pelajar: Bagaimana PAI Dapat Menjadi Solusi?
Budaya modern juga turut mempengaruhi hal ini. Konten media yang tidak mencerminkan nilai-nilai etika, seperti film atau acara televisi, sering kali menjadi sumber inspirasi bagi perilaku yang kurang baik. Konten-konten ini, tanpa disadari, memperkuat gagasan bahwa berbicara kasar atau bertindak tidak sopan adalah hal yang biasa, bahkan diterima secara sosial.
Untuk mengatasi krisis moral ini, institusi pendidikan harus mengambil langkah-langkah konkret. Pertama, penting untuk memberikan pelatihan etika komunikasi kepada para pendidik. Pelatihan ini akan membantu guru memahami pentingnya menggunakan bahasa yang sopan dan tepat dalam konteks pendidikan.
Selain itu, harus ada penegakan disiplin yang ketat bagi pendidik yang melanggar norma-norma komunikasi. Sekolah juga perlu memiliki kebijakan yang jelas tentang perilaku profesional dan konsekuensi bagi mereka yang melanggarnya.
Tidak hanya itu, peran orang tua juga sangat penting. Sekolah dan orang tua harus berkolaborasi dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak. Orang tua harus aktif berdiskusi dengan anak-anak mereka tentang perilaku yang baik dan tidak baik, sehingga upaya pendidikan moral di sekolah dapat berjalan lebih efektif.
Krisis moral yang terjadi akibat guru berbicara kasar di hadapan siswa adalah masalah serius yang memerlukan perhatian segera. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini akan membawa dampak negatif, tidak hanya bagi guru dan siswa, tetapi juga bagi kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Dengan pelatihan etika, penegakan disiplin, dan kolaborasi antara sekolah dan orang tua, diharapkan krisis ini dapat segera diatasi. Guru harus kembali menjadi teladan yang baik, mencerminkan nilai-nilai luhur yang bisa ditiru oleh siswa.
Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.