Sebagaimana Yahudi dan Islam, agama Kristen adalah agama wahyu dengan kepercayaan monoteistik yang diwariskan oleh Ibrahim, bahkan agama yang dibawa oleh Yesus Kristus atau yang disebut Isa al-Masih dalam Islam, beliau adalah keturunan dari agama Yahudi kuno. Ada kemungkinan besar bahwa orang-orang yang beragama Kristen harus mematuhi semua hukum Taurat, kitab-kitab perjanjian, dan tradisi-tradisi kuno.
Unsur keselamatan yang diberikan Yesus Kristus kepada umat-Nya membedakan agama Kristen dengan agama lain. Doktrin trinitas kemudian muncul dari ajaran ini.[1]Selama bertahun-tahun, gagasan trinitas yang dipegang oleh orang-orang Kristen, menimbulkan reaksi yang keras bahkan dari kalangan kristen sendiri seperti Arianisme, serta beberapa sekte Islam, seperti Asy’ariah, Salafiyah, dan Mu’tazilah. Reaksi Mu’tazilah adalah unik dalam hal mereka menangani konsep trinitas. Mereka menggunakan konsep ta’til, yang berarti menolak sifat-sifat Tuhan, untuk mengkritik dan menolaknya.
Sebenarnya, mereka tidak menolak keberadaan sifat-sifat Allah, tetapi mereka menolak sifat- yang qadim, yang dianggap sebagai tambahan atas zat-Nya. Pandangan ini bertentangan dan bertentangan dengan trinitas Kristen. oknum-oknumnya dianggap sebagai yang qadim, dan bahkan terhadap golongan Islam sendiri yang menganggap sifat-sifat Tuhan sebagai yang qadim. Sejarah gereja Kristen menunjukkan bahwa penolakan Mu’tazilah tidak berlebihan. Terlepas dari fakta bahwa trinitas bukanlah risalah yang dibawa oleh Yesus Kristus, itu adalah hasil dari pemikiran para tokoh gereja klasik. [2]
Sebenarnya, dalam teologi Kristen dan Islam pada abad pertengahan, mengidentifikasi oknum dengan sifat-sifat ini tidak asing lagi. Selama masa kekuasaan Islam, kedua teolog dari kedua agama tersebut bekerja sama. Namun, setelah abad pertengahan, pengidentifikasi dua istilah dari dua tradisi agama yang berbeda ini mulai hilang dan dilupakan oleh para teolognya baik dalam Islam maupun Kristen sendiri, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, ini adalah alasan mengapa penelitian ini sangat penting. Studi ini berfokus pada doktrin trinitas dan sifat Tuhan dalam teologi Kristen dan Islam. Teologi kedua agama memiliki konsep yang sama dan yang berbeda tentang kedua ajaran tersebut.
Awal Munculnya Ajaran Trinitas
Sebenarnya, formulasi trinitas sudah ada dalam tradisi Kristen Klasik, yang mudah dipahami oleh akal sehat, terutama oleh beberapa teolog muslim. tepatnya ketika individu-individu tersebut dihubungkan dengan sifat Tuhan. seperti dalam penciptaan trinitas Neoplatonisme, yang kemudian dikenal oleh teolog muslim sebagai sumber penjelasan trinitas dari Victorianus dan Erigene. Dalam Neoplatonisme Yunani, istilah Jud. Zat dan Wujud digunakan untuk menggambarkan oknum pertama dari trinitas. Istilah Arab hayat, hikmat, nutk, dan ilm digunakan untuk menggambarkan oknum kedua dan ketiga.
Namun, istilah “qudroh” merujuk pada oknum ketiga trinitas Yunani.
Jamblichus, Theodore of Asine, dan Proclus adalah beberapa tokoh Kristen Neoplatonis yang termasuk dalam kategori ini. Proclus menggambarkan trinitasnya sebagai esensi, substansi atau eksistensi, hidup atau kuasa, dan intelek atau intelegensi. Sebaliknya, Jamblichus menggambarkan trinitasnya sebagai Bapa atau substansi (Zat), kekuasaan (qudrah), dan intelek (aqal). Menurut Damaskus, Theodore Asine menggambarkan trinitasnya sebagai eksistensi (wujud), intelegensi (aqal), dan hidup (hayat).
Sebaliknya, ia juga menggambarkan trinitasnya sebagai kebaikan (jud), kekuatan (ilm), atau pengetahuan. Model yang disebutkan terakhir ini berkaitan dengan trinitas yang disebutkan oleh Yahya Ibn Adisa sebagai generosity (kebaikan), wisdom (pengetahuan), dan kekuatan. Akibatnya, keyakinan bahwa ketiganya adalah Tuhan muncul dari keyakinan bahwa sifat-sifat abadi, keazalian, dan keqadiman Tuhan.
Walaupun Alkitab tidak menyatakan secara eksplisit konsep Trinitas sebagai ketiga, istilah ini berasal dari bahasa Latin, “trinitas”, yang bermakna “tiga di dalam satu.”
Pernyataan ini tentang sifat tunggal Allah—Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus—mengandung misteri yang sangat besar. Istilah dan pengertian Tritunggal, juga dikenal sebagai Trinitas, pertama kali diformulasikan secara eksplisit oleh Tertullianus. Namun demikian, Agustinus dan Athanasius adalah beberapa orang lain yang pada awalnya juga dianggap sebagai pemikir Trinitas.[3]
Alkitab menceritakan peran aktif Allah Tritunggal. Tidak ada yang dapat mengenal Allah yang sebenarnya jika Dia tidak memperkenalkan Diri-Nya kepada manusia. Semuanya diciptakan oleh Allah Bapa, jadi jika Dia tidak menciptakan semuanya, tidak ada yang ada. Allah Roh Kudus mewahyukan (Revealer), jika Roh Kudus tidak mewahyukan, tidak ada yang dapat mengenal Bapa melalui Anak. Allah Anak menebus (Redeemer), jika Anak tidak menebus dosa manusia, tidak ada yang dapat kembali kepada Bapa.
Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus sama-sama mencipta (Bapa menjadi pribadi utama); Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus sama-sama menebus (Anak menjadi pribadi utama); dan Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus sama-sama mewahyukan (Roh Kudus). Kudus menjadi orang penting). Dalam memahami Allah sebagai orang Kristen, kita sangat percaya bahwa jika Allah tidak berusaha mengungkapkan diri-Nya kepada semua orang, maka kita semua akan jatuh ke dalam kegelapan karena kurangnya akal kita (Efesus 4:17-18; Matius 11:27). Dalam Alkitab, Anda akan melihat banyak sifat-sifat Allah, yang disebut sebagai Omni Potent (Allah Mahakuasa), Omni Present (Allah Mahahadir), dan Omni Science (Allah Mahatahu). Karena itu, ketika kita berbicara tentang sifat-sifat Allah, yang kita maksudkan disini adalah karakteristik yang dimiliki Allah sebagai Allah, siapa yang menjadikan Allah dan siapakah Dia.[4]
Penafsiran ayat Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 73
لَـقَدۡ كَفَرَ الَّذِيۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ ۘ وَمَا مِنۡ اِلٰهٍ اِلَّاۤ اِلٰـهٌ وَّاحِدٌ ؕ وَاِنۡ لَّمۡ يَنۡتَهُوۡا عَمَّا يَقُوۡلُوۡنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡهُمۡ عَذَابٌ اَ لِيۡمٌ ٧٣
Artinya : “Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih.”
Penafsiran menurut Kementrian Agama dalam ayat ini, Allah menegaskan dengan sesungguhnya bahwa orang-orang yang menganut agama Nasrani salah dengan mengatakan bahwa Isa adalah salah satu dari tiga entitas Bapa, Putra, dan Rohulkudus yang menciptakan langit dan bumi. Oleh karena itu, ayat ini menceritakan bagaimana mayoritas orang Nasrani muncul pada masa lalu. Ada kelompok kecil dari mereka yang percaya bahwa Allah adalah Isa Putra Maryam, tetapi kelompok yang lebih kecil percaya bahwa Isa itu adalah Putra Allah dan bukan Allah. Karena Tuhan yang sebenarnya adalah zat yang tidak terhitung, keyakinan mereka ini tidak memiliki dasar yang kuat.
Allah adalah Maha Kuasa karena Dia adalah Yang Maha Esa. Jika Tuhan berbilang, itu berarti Dia lebih dari satu, dan jika mereka berdua atau lebih, mereka pasti akan bersaing untuk kekuasaan, yang akan menghancurkan alam ini. Jika tuhan-tuhan itu berdamai, artinya ada yang berkuasa di langit dan yang lain di bumi, maka Tuhan itu lemah karena sifat damai adalah sifat orang yang lemah yang tidak dapat menaklukkan alam sendirian. Oleh karena itu, Tuhan harus satu.
Selain itu, jika Tuhan disebut sebagai tiga orang, misalnya, dan ketiga-tiganya dianggap sebagai satu, maka kehilangan salah satu dari mereka berarti kehilangan keseluruhan Tuhan. Jadi, ketuhanannya hilang karena Yesus, salah satu oknum Tuhan, meninggal di atas salib. Jika tidak itu menunjukkan bahwa Tuhan itu berbilang. Jadi, ada satu Tuhan yang meninggal atau wafat di atas salib, dan masih ada dua yang masih hidup.
Jika benar bahwa ada Tuhan Bapa dan Tuhan Putra, maka yang dinamakan Tuhan Bapa harus diketahui lebih dahulu dan yang dinamakan Tuhan Putra harus diketahui lebih lanjut. Tuhan bersifat Baqa (kekal), yang berarti “adanya tidak diakhiri oleh tiada”, dan Qadim, yang berarti “adanya tidak didahului oleh tiada.” Isa bukan Qadim karena dia didahului oleh “tiada”. Jika Anda mempertimbangkan logika, demikianlah sesatnya pendirian orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah memperingatkan orang-orang Nasrani pada ayat ini supaya mereka kembali ke ajaran Tauhid dan meninggalkan kepercayaan yang salah. Mereka akan diazab di neraka jika mereka tetap kafir dan mempersekutukan Allah.
Penafsiran Ibnu Katsir[5] Sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga, Ibnu Abu Hatim memberi tahu kami dari Ali ibnul Hasan Al-Hasanjani, Sa’id ibnul Hakam ibnu Abu Maryam, Al-Fadl, dan Abu Sakhr. (73) Al-Maidah. Hal ini mirip dengan pernyataan orang Yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, dan pernyataan orang Nasrani bahwa Al-Masih adalah putra Allah.
Mereka menganggap Allah sebagai salah satu dari tiga jenis tuhan, yang berarti ada tuhan ayah, tuhan ibu, dan tuhan anak. Namun, pendapat ini dianggap garib dalam hal tafsir ayat ini karena menganggap bahwa yang dimaksud adalah dua golongan: orang Yahudi dan orang Nasrani. Pendapat yang lebih tepat adalah bahwa ayat ini diturunkan secara khusus untuk orang Nasrani. Demikianlah yang dikatakan Mujahid dan orang lain. Mereka kemudian tidak setuju. Suatu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang kafir dari kalangan mereka (kaum Ahli Kitab), yaitu mereka yang menganut kepercayaan trinitas, yang terdiri dari tuhan ayah, tuhan anak, dan tuhan ibu, yang melahirkan tuhan anak. Allah lebih tinggi daripada apa yang mereka katakan.
Ketiga sekte yaitu Malakiyah, Ya’qubiyah, dan Nusturiyah semuanya menyatakan ajaran trinitas ini, menurut Ibnu Jarir. Mereka berbeda pendapat mengenai trinitas dengan perbedaan yang sangat mencolok, dan pembahasan mengenainya tidak ada dalam kitab ini. Mereka mengafirkan satu golongan ke golongan lain, meskipun pada dasarnya ketiga golongan itu sama-sama kafir. As-Saddi mengatakan bahwa ayat ini diturunkan tentang bagaimana orang-orang menjadikan Al-Masih dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah; mereka juga menjadikan Allah sebagai salah satu dari tiga tuhan.
Argumentasi Terhadap Fenomena
Agama Kristen yang biasa disebut di dalam Islam adalah Nasrani menyatakan, bahwa di dalam Nasrani konsep tuhan adalah tritunggal yang mengartikan tuhan mempunyai tiga kepribadian, yang di mana tiga tuhan tersebut terpecah dan tidak menggambarkan konsep ketuhanan. Di dalam injil 1 timotius 2:5 yang isinya adalah “karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” yang mengartikan bahwa manusia Kristus yesus adalah sama dengan tuhan karena mempunyai ke-esaan, yang seharusnya ke-esaan tersebut tidak mempunyai kapasitas lebih dari satu.
Jika kita mengenal Allah sebagai bentuk dari tiga tersebut dan tiga tersebut menjadi satu, maka hanya akan melemahkan Dia yang merupakan titik tertinggi dari pencipta kehidupan. Seharusnya Allah tidak memerlukan siapapun untuk membuat dirinya dikenal, melainkan manusia harus belajar cara mengenal Allah melalui ajaran para nabi dan rasulnya.
Dalam Al-Quran tidak ada yang makhluk apapun pantas untuk dikatakan esa, kecuali sang pencipta yaitu Allah S.W.T yang menciptakan langit dan bumi. Nabi Muhammad S.A.W tidak pernah menyatakan adanya Allah sebagai tiga kepribadian pada satu bentuk, atau satu bentuk menjadi tiga pribadian. Surah Al-Maidah ayat 73 mengingatkan kita untuk tidak menggambarkan tuhan dalam tiga bentuk, atau tiga perwakilan dari satu bentuk tersebut. Karena ke-esaan hanya ada dalam satu dan tidak akan bisa terpecah menjadi tiga.
Menjadikan tuhan dalam tiga bagian tidak akan bisa mewujudkan ke-esaan tuhan, melainkan ketergantungan antar ketiganya. Manusia tidak akan mampu untuk mengetahui ke-esaan Allah S.W.T terhadapnya. Jika Allah digambarkan sebagai pencipta, Kristus sebagai penyelamat, dan Roh Kudus sebagai Pembimbing. Maka kita akan menjadikan mereka makhluk yang hidup dan tidak akan wafat, yang artinya bertolak belakang terhadap realitas dari kristus itu sendiri yang pernah wafat dipatung salib. Pada akhirnya, hal tersebut tidak menggambarkan arti dari ke-esaan tersebut.
Allah S.W.T adalah tuhan untuk umat Islam dan seluruh umat manusia. Allah S.W.T mengajarkan sifat-sifat ketuhanan yang sama sekali tidak bisa di bagi kepada semua makhluk. Allah S.W.T juga memberi kemampuan pada makhluk hidupnya dari sifat-sifat yang Ia berikan. Walaupun makhluk hidup diberi hal seperti itu, tapi tidak akan mampu menyamai sifat Allah S.W.T karena kita adalah ciptaannya.
Oleh karena itu, penting bagi kita mempelajari sifat-sifat Allah S.W.T untuk meningkatkan kualitas iman kita. Kita adalah manusia yang sama sekali tidak ada hak untuk menyamakan diri kita dengan Allah S.W.T. Kita tidak akan mampu menyamakan diri kita, dengan hal yang tidak dapat digambarkan sama sekali. kita adalah manusia yang mempunyai batas-batas yang harus disadari. Manusia tidak akan mampu mengimbangi kemampuan yang diberikan sang pencipta. Hal yang mampu dirasakan oleh kita dari besarnya ke-esaan Allah adalah kemampuan kita untuk hidup, berfikir, rasa, dsb.
Kesimpulan
Konsep Trinitas, yang menganggap Allah sebagai tiga entitas (Bapa, Putra, dan Rohulkudus), salah dan bertentangan dengan prinsip keesaan Tuhan dalam Islam. Penafsir menyatakan bahwa konsep ini tidak memiliki dasar yang kuat dan bertentangan dengan kekuasaan mutlak Allah sebagai satu-satunya entitas yang tidak terbagi-bagi. Konsep Trinitas, termasuk masalah dalam pemahaman akan kekekalan dan kekuasaan Allah. Mereka menyoroti bahwa jika konsep Trinitas benar, maka ada implikasi bahwa Tuhan bisa mati (seperti dalam kasus Yesus disalib), yang bertentangan dengan konsep kekekalan Tuhan dalam Islam. Selain itu, konsep ini membingungkan dan bertentangan dengan logika karena menyatakan bahwa ada tiga Tuhan dalam satu.
Daftar Pustaka
[1] Sri Dahlia TRINITAS DAN SIFAT TUHAN:Studi Analisis Perbandingan Antara Teologi Kristen dan Teologi Islam (Jurnal Penelitian, Vol. 11, No. 2, Agustus 2017) Hal. 300
[2] Ibid Hal. 301
[3] Fekky D.Y Tatulus Mengajarkan Konsep Trinitas sebagai Pembekalan Apologetis Jemaat di Era Disruptif (JURNAL TEOLOGI DAN KEPEMIMPINAN KRISTENVolume 1, No 1,Desember 2019) Hal. 4
[4] Ibid Hal. 5
[5] Tafsir Ibnu Katsir Tafsir Surat Al-Maidah, ayat 72-75 (http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-72-75.html) diakses pada tanggal 12 April 2024