Sejak awal masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi telah menonjolkan pendekatan kepemimpinan yang unik dan dekat dengan masyarakat. Salah satu ciri khas yang paling mencolok adalah “blusukan”, di mana Jokowi secara langsung turun ke lapangan untuk mendengarkan keluhan dan aspirasi rakyatnya. Pendekatan ini kerap dipuji, tetapi muncul pertanyaan yang patut dijawab: seberapa efektif gaya kepemimpinan ini dalam mendorong perubahan yang lebih luas di Indonesia?
Kepemimpinan relasional, yang menekankan pada hubungan dekat antara pemimpin dan rakyat, berakar pada teori Leader-Member Exchange (LMX). Teori ini menegaskan bahwa komunikasi dua arah dan rasa saling percaya adalah pondasi dari hubungan yang kuat. Dalam konteks Jokowi, konsep ini terlihat jelas melalui blusukan, di mana beliau mendengarkan keluhan langsung dari masyarakat dan berusaha menyelesaikan masalah mereka. Gaya ini berbeda dari kepemimpinan konvensional yang sering dianggap lebih kaku dan berjarak.
Namun, apakah blusukan benar-benar mampu membawa perubahan signifikan? Melalui blusukan, Jokowi bukan hanya mendengar keluhan masyarakat, tetapi juga merumuskan kebijakan yang langsung merespons kebutuhan mereka. Program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) merupakan contoh nyata dari hasil interaksi ini. Kedua program tersebut berfokus pada peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, terutama bagi kelompok masyarakat kurang mampu.
Tanggapan masyarakat terhadap gaya kepemimpinan ini cenderung positif. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2023, mayoritas masyarakat mengapresiasi kepemimpinan Jokowi yang sering hadir langsung di tengah-tengah mereka. Hal serupa juga tercermin dalam survei Indikator Politik Indonesia pada tahun 2020, di mana 72,6% responden menyatakan bahwa mereka menyukai cara Jokowi yang sering melakukan kunjungan langsung ke daerah-daerah.
Media juga sering kali melaporkan sambutan hangat dari masyarakat ketika Jokowi blusukan. Warga merasa lebih dekat dengan pemimpin mereka, yang biasanya hanya dapat mereka saksikan dari layar televisi. Sebuah artikel di Kompas pada tahun 2018 bahkan menyoroti betapa warga pedesaan merasa lebih diperhatikan dengan adanya kunjungan langsung tersebut.
Baca Juga: Kepemimpinan Transformasional: Menginspirasi Perubahan dengan Visi dan Karisma
Meski begitu, efektivitas blusukan ini tidak sepenuhnya tanpa kritik. Beberapa pengamat menilai bahwa pendekatan ini lebih efektif untuk menyelesaikan masalah di tingkat mikro, tetapi kurang mampu mengatasi tantangan yang lebih besar dan kompleks. Pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menekankan bahwa untuk perubahan struktural yang lebih mendalam, diperlukan kebijakan yang lebih sistematis dan terorganisir. Blusukan kerap dinilai lebih simbolis ketimbang substantif, karena banyak masalah yang membutuhkan solusi yang lebih komprehensif.
Meskipun ada kekurangan, gaya kepemimpinan relasional Jokowi tetap memberikan dampak positif, khususnya bagi rakyat kecil. Gaya ini memungkinkan masyarakat merasa lebih didengar dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Namun, tantangan yang lebih besar, seperti reformasi birokrasi dan pengentasan kemiskinan, memerlukan kebijakan yang lebih strategis dan terencana.
Baca Juga: Kepemimpinan di Era Digital: “Viral” Bukanlah Segalanya
Dengan demikian, meskipun pendekatan kepemimpinan Jokowi patut diapresiasi karena kedekatannya dengan rakyat dan kesederhanaannya, upaya untuk mengatasi masalah-masalah besar yang dihadapi bangsa memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh dan terstruktur. Kepemimpinan relasional ini mungkin efektif dalam membangun kedekatan emosional, tetapi juga harus dibarengi dengan reformasi yang sistematis untuk menjawab tantangan masa depan Indonesia.
Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03 Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.