Sampah telah menjadi salah satu masalah lingkungan paling serius di Indonesia. Berdasarkan laporan The Atlas of Sustainable Development Goals 2023 dari Bank Dunia, Indonesia tercatat menghasilkan sekitar 65,2 juta ton sampah pada 2020. Data ini menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil sampah terbesar kelima di dunia.
Sementara itu, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat bahwa total timbulan sampah di Indonesia pada 2023 mencapai 38,4 juta ton dengan jumlah penduduk sebesar 277,5 juta jiwa.
Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, di mana Indonesia menghasilkan 35,1 juta ton sampah pada 2022 dengan jumlah penduduk 275,5 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk memiliki korelasi langsung dengan jumlah sampah yang dihasilkan.
Namun, masalah sampah ini tidak hanya sekadar isu lingkungan, melainkan juga berkaitan erat dengan kegiatan politik, terutama dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pilkada merupakan salah satu momen penting dalam pesta demokrasi Indonesia. Acara ini menjadi ajang perebutan suara antara kandidat, tetapi juga sering kali menimbulkan masalah baru, khususnya dalam bidang lingkungan. Selama masa kampanye Pilkada, volume sampah sering kali meningkat secara signifikan.
Baliho, spanduk, poster, hingga selebaran menjadi alat peraga kampanye (APK) yang tak jarang berakhir sebagai sampah setelah acara selesai. Sayangnya, sebagian besar bahan promosi ini tidak dirancang untuk didaur ulang atau digunakan kembali, sehingga langsung menambah beban limbah.
Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Sampah yang Timbul Akibat Penyelenggaraan Pemilu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatur bahwa sampah yang berasal dari bahan kampanye harus dikelola sesuai peraturan perundang-undangan.
Peserta pemilu diwajibkan memilah sampah, membuangnya di tempat yang telah ditentukan, serta dilarang membakar alat peraga kampanye. Namun, pelaksanaan aturan ini masih menjadi tantangan besar di lapangan.
Sampah yang dihasilkan selama Pilkada, terutama dari bahan plastik, memberikan dampak serius terhadap lingkungan. Plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai, sehingga dapat mencemari tanah, air, bahkan udara. Mikroplastik dari limbah ini juga berpotensi masuk ke rantai makanan dan membahayakan kesehatan manusia.
Selain itu, penumpukan APK yang tidak terkelola dengan baik juga menurunkan estetika lingkungan kota, menambah beban pengelolaan sampah bagi pemerintah daerah, terutama di wilayah yang minim fasilitas pengolahan sampah.
Dampak lingkungan ini mengingatkan kita pada tragedi longsoran sampah di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Insiden tersebut menewaskan 157 orang dan menjadi peringatan keras akan bahaya sampah yang tidak terkelola dengan baik.
Baca Juga: Gen Z, Media Sosial, dan Krisis Kebanggaan terhadap Bahasa Indonesia
Meski menjadi tantangan, Pilkada juga dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Para kandidat dapat memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap lingkungan melalui kampanye yang ramah lingkungan.
Contohnya, dengan memprioritaskan penggunaan bahan kampanye yang dapat didaur ulang atau mempromosikan metode daur ulang kreatif seperti ecobrick, yaitu pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan bangunan.
Setelah Pilkada, alat peraga kampanye yang tidak terpakai sebaiknya tidak langsung dibuang, melainkan dimanfaatkan kembali. Langkah-langkah sederhana seperti mendaur ulang bahan promosi atau mengalihfungsikannya menjadi barang berguna dapat mengurangi beban limbah secara signifikan.
Selain itu, pemerintah dan masyarakat juga perlu bekerja sama untuk mengelola sampah Pilkada secara efektif. Pemerintah daerah, misalnya, dapat menyediakan fasilitas daur ulang sementara selama masa kampanye. Di sisi lain, masyarakat juga dapat dilibatkan melalui program pendidikan lingkungan yang menekankan pentingnya pengelolaan sampah selama pesta demokrasi.
Masalah sampah selama Pilkada tidak hanya mencerminkan kurangnya kesadaran lingkungan, tetapi juga menantang semua pihak untuk mencari solusi. Pilkada adalah kesempatan strategis untuk menciptakan kebijakan yang berdampak positif bagi lingkungan. Para pemimpin daerah terpilih diharapkan dapat menjadikan pengelolaan sampah sebagai salah satu agenda prioritas mereka.
Baca Juga: Manfaat dan Inovasi Lobak Putih dalam Menurunkan Berat Badan
Langkah kecil yang diambil selama Pilkada dapat memberikan dampak besar pada keberlanjutan lingkungan di masa depan. Dengan kesadaran dan tindakan nyata, Indonesia dapat memanfaatkan momen demokrasi ini untuk tidak hanya memperkuat sistem politik, tetapi juga melindungi lingkungan bagi generasi mendatang.
Sampah adalah masalah yang memerlukan perhatian serius, terutama dalam konteks Pilkada yang sering kali menjadi pemicu peningkatan volume limbah. Dengan komitmen dan sinergi dari semua pihak, Pilkada tidak harus menjadi beban tambahan bagi lingkungan.
Sebaliknya, acara ini dapat menjadi katalis perubahan menuju pengelolaan sampah yang lebih baik dan berkelanjutan. Mari jadikan pesta demokrasi ini juga sebagai momentum untuk meraih masa depan yang lebih bersih dan hijau.
Daftar Pustaka
-
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2023). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). Diperoleh 24 November 2024 dari https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/.
-
Nurbaya, Siti. surat edaran nomor 3 tentang pengelolaan sampah yang timbul akibat penyelenggaraan pemilu. (2024).
-
Pradana, Whisnu. Jabar X-Files: Tragedi 157 Warga Tewas Tertimbun Sampah Leuwigajah. Diakses pada 25 November 2024 dari https://www.detik.com/jabar/berita/d-6288321/jabar-x-files-tragedi-157-warga-tewas-tertimbun-sampah-leuwigajah.
-
Yusiyaka, R. A., & Yanti, A. D. (2021). Ecobrick: Solusi Cerdas Dan Praktis Untuk Pengelolaan Sampah Plastik. Learning Community : Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, 5(2), 68. https://doi.org/10.19184/jlc.v5i2.30819.