Bentuk negara merupakan filsafat negara. Penetapan bentuk negara harus melewati tahapan-tahapan reflektif idealis untuk mencapai suatu jawaban tertinggi yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi bangsa dalam negara tersebut. Negara Kesatuan Republik Indonesia atau yang disingkat NKRI merupakan bentuk negara Indonesia saat ini. Penetapan bentuk NKRI bagi bangsa Indonesia tidak terlepas dari perdebatan panjang para pendiri bangsa dalam kacamata historis bangsa Indonesia.
Istilah republik sendiri awal kemunculannya di Indonesia bukan pada pidato Ir. Soekarno atau pada saat perdebatan-perdebatan para pendiri bangsa tentang bentuk negara nantinya, melainkan sudah muncul dalam pamflet Tan Malaka yang berjudul Naar de ‘Republiek Indonesia’ (Menuju Republik Indonesia) pada April 1925 [1]. Setelah itu, Indonesia semenjak kemerdekaannya menetapkan republik sebagai bentuk Negara Indonesia menjadi Republik Indonesia.
Secara etimologis, republik terdiri dari dua kata yang berasal bahasa Latin, res dan publica. Res berarti hal, fakta, atau sesuatu; dan publica berarti publik [1]. Secara harafiah, republik dapat diartikan sebagai sesuatu dari publik atau kepentingan public. Selain kata republik, terdapat dua kata lainnya yang dapat dikatakan sebagai pengembangan makna dari republik, yakni republikan dan republikanisme. Republik adalah sebuah kominitas politik yang pemerintahannya dicirikan dengan adanya kepala negara bukan monarkis dan biasanya presiden.
Negara republik kekuasaannya tidak secara langsung berada di bawah tangan rakyat sebagaimana demokrasi, melainkan lebih pada apa yang dikenal dengan perwakilan. Republikan menurut kamus Webster berarti memiliki karakter sebagai republik atau orang yang mendukung republik. Sementara republikanisme merupakan aspirasi, simpati, semangat, dan praktik republik dalam sebuah bentuk pemerintahan republik [1]. Paham tentang republik mengalami perkembangan ide mulai dari pemikiran Aristoteles dan Cicero pada konteks Athena dan Romawi kuno hingga pada abad kontemporer Hannah Arendt dan Charles Taylor sebagai tokoh sentral.
Cicero memberi pendapat tentang republik bahwa republik harus dimengerti sebagai bentuk kerangka mitra atau kerjasama dari warga yang bersatu dalam kehidupan bersama yang diikat oleh hukum. James Madison (1751-1836) membedakan republik dan demokrasi [1]. Madison berpendapat bahwa republik merupakan pemerintahan yang rakyatnya dipimpin atau diperintah oleh wakil-wakil yang mereka pilih; sedangkan demokrasi adalah pemerintahan yang mana rakyat memerintah diri secara langsung.
Pada masa revolusi Prancis yang ditandai dengan pemenggalan kepala raja Louis XVI mengawali perubahan Prancis dari bentuk monarki menjadi republik dengan semboyan liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan). Di Indonesia sendiri, semangat republik tidak dimaksudkan untuk melawan monarki, melainkan semangat republik digunakan untuk melawan penjajahan. Robertus Robert dalam bukunya “Republikanisme” berpendapat bahwa ada 5 preposisi dari paham republik [1], yakni pertama, preposisi mengenai kebaikan bersama; kedua, civic virtue (keutamaan wargawi); ketiga, peran partisispasi kewarganegaraan; keempat, republikanisme menekankan sikap kewarganegaraan yang aktif, dan menekankan pentingnya institusi politik yang mampu membentuk dan menghantarkan warga negara ke dalam politik.
Perjalanan Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tidak berjalan dengan mulus. Banyak carut marut yang terjadi dalam tubuh pemerintahan Negara Indonesia. Selain diskusi untuk menetapkan aturan-aturan resmi negara, hal mengenai bentuk negara Republik juga turut hadir dalam perdebatan. Bahkan sudah 11 tahun bangsa Indonesia merdeka dari penjajah, Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, masih mengeluhkan tentang kestabilan pemerintahan Republik Indonesia [1].
Kenyataannya bahwa Negara Indonesia pernah menjalankan bentuk negara kerajaan (monarki) sebelum kemerdekaan dan pada masa sidang BPUPKI sempat ada perdebatan antara kerajaan atau monarki yang akan menjadi bentuk negara nanti saat kemerdekaan. Indonesia juga pernah menetapkan bentuk negara federal pada 27 Desember 1949 yang terdiri dari 16 daerah bagian, yakni 7 negara bagian (Sari, 2015) selama kurang lebih 1 tahun (1949-1950) dengan nama Republik Indonesia Serikat.
Tentu penetapan bentuk negara federal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 1 ayat 1 (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, n.d.) tentang Negara Indonesia yang satu dan berbentuk Republik. Bentuk negara Indonesia kemudian diperdebatkan antara negara yang satu atau negara yang terdiri dari banyak negara bagian, yang pada akhirnya bangsa Indonesia memutuskan untuk menganut negara kesatuan yang berbentuk republik atau dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terbentuknya NKRI sebagai putusan bentuk negara Indonesia tidak terlepas dari dialog-dialog yang terjadi antara the founding fathers. Dalam sejarah Negara Indonesia, filsafat dialektika memiliki peran penting di dalamnya untuk menemukan putusan yang tepat, khususnya metode dialektika Hegel (tesis, antithesis, dan sintesis). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peran metode dialektika Hegel dalam sejarah penentuan bentuk negara Indonesia sebelum bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perdebatan selalu terjadi karena ada argumen awal (tesis) yang kemudian dipertentangkan oleh argumen-argumen lain yang tidak sejalan dengan argumen awal (antithesis). Namun demikian, perdebatan itu harus menemukan suatu jalan tengah yang nantinya akan mendamaikan kedua pendapat yang berbeda. Jalur perdamaian ini yang dikenal dengan sintesis. Filsafat dialektikan Hegel selalu mengalami perputaran (bersifat spiral), yang mana sintesis yang dihasilkan dari perdebatan antara tesis dan antithesis nantinya akan menjadi tesis baru yang akan berhadapan dengan antithesis baru lalu melahirkan sintesis baru. Perputaran ini yang terjadi terus menerus hingga menemukan sintesis puncak atau Hegel menyebutnya sebagai Roh Absolut.
Sejarah Singkat G. W. F. Hegel
George Wilhem Friedrich Hegel atau biasa dikenal dengan sebutan Hegel (1770-1831) adalah seorang filsuf idelis adal Jerman yang cukup berpengaruh dalam dunia filsafat barat. Hegel lahir di Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770 dan meninggal pada usiannya yang ke 61 tahun, tepatnya pada tanggal 14 November 1831 [3]. Ia lahir dari keluarga menengah yang cukup mapan dan mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya.
Ayahnya adalah seorang pegawai negeri dalam bidang administrasi pemerintahan di Wűrttemberg. Hegel pada masa kecilnya ia rajin membaca buku yang mana dipengaruhi oleh ibunya yang pregresif dan aktif dalam hal perkembangan intelektual anak. Hegel akrab dengan kakak perempuannya, Christiane, dan hubungan akrab itu tetap terjalin semasa hidupnya. Kendati demikian ia juga merupakan anak yang sering sakit-sakitan dan hampir meninggal dunia akibat cacar sewaktu usianya belum mencapai enam tahun [4].
Baca Juga: Mengurai Esensi Kesadaran: Bisakah AI Benar-benar Memiliki Kesadaran?
G. W. F. Hegel menjalankan masa pendidikan teologi di Universitas Tubingen pada tahun 1788 dan kemudian mendapatkan gelar Doktor dalam bidang theologia pada tahun 1791. Pada Universitas Tubingen ini ia berteman dengan Scheling dan Holderlln. Pada awalnya karya-karya Hegel hanya seputar agama Kristen, misalnya Trie Life of Jesus dan Spirit of Chiristiany [5].Hegel mulai menekuni ilmu filsafatnya pada tahun 1801 di Universitas Jena, dan turut mengajar matakuliah filsafat di sana lalu mengahasilkan sebuah karya filsafat pertama yang berjudul The Differece Between Fichte’s and Schelling’s System of Philosophy. Pada tahun 1906 Hegel menyelesaikan karya utamanya, yakni Phenomenology of Spirit dan dipublikasikan pada tahun berikutnya atau tahun 1907 [4].
Waktu Napoleon menduduki Jenna pada tahun 1806, Hegel melarikan diri ke Nuremberg dan kemudian menjadi kepala sekolah Gymnasium [5]. Pada tahun 1808-1815 Hegel menjadi kepala sekolah. Selama di Nuremberg ia menikah dengan Marrie von Tucher, dan menerbitkan karya Science of Logic. Pada tahun 1816 ia diangkat menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Heidelberg. Ada banyak karya penting Hegel yang ia terbitkan, misalnya Encyclopedia of the Philosophical Science, Philosophy of Nature, Philosophy of Spirit, Grundlinien der Philosophie des Rechts – yang merupakan karya yang membuatnya popular pada tahun 1821 – , dan karya utamanya di bidang filsafat politik Elements of the Philosophy of Right. Pada tahun 1818 Hegel mengalami puncak kejayaannya di Berlin, yang mana pada saat itu ia diminta untuk menggantikan Fitche.
Kuliahnya banyak diikuti oleh banyak mahasiswa di Jerman karena mereka terkesan dengan nilai kesarjanaan dan ilmu pengetahuan dari Hegel. Oleh karena itu, sistem filsafat Hegel diakui dan dijadikan filsafat Jerman secara resmi [6]. Hegel meninggal 4 hari kemudian setelah kuliah pembuka yang ia berikan di Universitas Berlin pada 10 November 1831, yang mana ia meninggal karena terjangkit penyakit kolera pada 13 November 1831 dan meninggal. Di atas meja kerja Hegel di temukan tulisannya Tentang Bukti-Bukti bagi Adanya Allah. Ia kemudian dikuburkan disamping Georg Fitche (1762-1861), rekan filsufnya, atas permintaanya sewaktu masih hidup. Kumpulan materi Hegel tentang philosophy of history, philosophy of religion, aesthetics, dan history of philosophy dan diterbitkan setelah itu [4].
Metode Dialektika Hegel
G. W. F. Hegel adalah seorang filsuf idealisme yang teori-teorinya sering digunakan untuk melakukan pengembangan ilmu-ilmu filsafat dan teori-teori sosial [7]. Karya-karya Hegel mencakup bidang hukum, politik, sejarah, estetika, dan logika. Salah satu metode filsafat yang cukup berpengaruh dan penting dari Hegel adalah metode dialektika. Dialektika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani dialektikos, yang berarti pidato, pembicaraan, dan perdebatan. Dialektika adalah seni ilmu yang hadir dalam aneka ragam perdebatan yang ketat [3].
Metode dialektika Hegel secara sederhana terdiri dari tiga tahap, yakni tesis (argument awal), antithesis (argument pembantah tesis), dan sintesis (argument yang mendamaikan tesis dan antithesis). Tiga tahap ini akan menjadi siklus, yang mana sintesis yang diperoleh dari perdebatan sebelumnya akan menjadi sintesis baru dan akan berhadapan dengan antithesis baru dan kemudian mendapatkan sintesis baru pula, begitu seterusnya hingga mencapai kebenaran absolut yang tidak dapat diperdebatkan lagi.
Pandangan Hegel terhadap dunia adalah sebuah keseluruhan tentang Roh. Roh manusia berpartisipasi dalam Roh dunia untuk memungkinkan adanya perubahan dari tahapan yang paling rendah ke tahap yang paling tinggi [8]. Dalam pemikiran metafisika ini, Hegel sangat menekankan pentingnya rasio. Pengertian rasio Hegel ini merujuk pada “subjek absolut”.
Subjek absolut yang dimaksudkan adalah seluruh realitas harus disetarakan dengan suatu subjek. Dengan kata lain luas rasio harus sesuai dengan luas realita. Hegel menamakan realitas yang memikirkan diri (subjektif) sebagai “ide”, dan realitas secara umum (objektif) dengan sebutan “Roh”. Dalam hukum dialektika, peningkatan diri Roh bersifat gradual menuju sesuatu yang mutlak [6].
Hegel melihat dialektika sebagai dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan. Dua hal yang bertentangan itu lalu didamaikan ini kemudian mencapai Roh mutlak atau rasio yang tidak dapat dipertentangkan lagi. Dalam perkembangan Roh ini, ada tiga tahap penyusunan filsafat Hegel, yakni:
- Tahap logika, yakni proses ketika Roh berada dalam keadaan “ada dalam diri sendiri”.
- Tahap filsafat alam, yakni proses ketika Roh berada dalam keadaan “berbeda dengan diri sendiri”, menjadikan dirinya “di luar” dirinya dalam bentuk alam, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.
- Tahap filsafat roh, yakni tahap ketika roh kembali kepada diri sendiri, yaitu kembali dari berada di luar dirinya sehingga Roh berada dalam keadaan “dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”. Proses dialektika Hegel ini dalam konsep metafisika ini adalah “ada” (tesis), “ketiadaan” (antithesis), dan “menjadi” (sintesis). “Ada”, “ketiadaan”, dan “menjadi” mewujudkan dua ungkapan yang saling melengkapi menjadi hal yang satu.
Dari tahapan metafisika di atas, sebenarnya Hegel mau menegaskan bahwa puncak dari Roh atau Roh yang mutlak adalah suatu kejadian besar atau kejadian Roh. Sederhananya, dialektika Hegel dimaksudkan untuk terus membangun dan menciptakan suatu pemikiran baru, serta merubah suatu pandangan. Proses perubahan ini melibatkan tiga hal, yakni hal atau pemikiran yang eksis (tesis); lawan dari pemikiran tesis (antithesis); dan akhirnya membentuk sebuah kesatuan (sintesis).
Sintesis ini akan menjadi basis tesis baru yang akan menemukan pertentangan dan menghasilkan hal baru lagi, begitu seterusnya hingga menemukan sesuatu yang mutlak dan tidak dapat dipertentangkan lagi. Dalam sintesis, tesis dan antithesis menjadi aufgehoben (bahasa Jerman: diangkat) yang mengandung tiga arti, yakni pertama, mengesampingkan; kedua, merawat, menyimpan, jadi tidak ditiadakan melainkan dirawat dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi dan dipelihara; ketiga, tesis dan antithesis ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi dan tidak lagi berfungsi sebagai lawan yang saling mengucilkan. Dari ketiga arti itu, dipahami bahwa kebenaran yang terkandung dalam tesis dan antithesis tetap disimpan dalam sintesis, tetapi dalam bentuk yang lebih sempurna.
Latar Belakang Sejarah Penggunaan Nama Republik di Indonesia
Diskusi anggota Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidang pertama dari tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945, salah satu poin yang dibahas adalah bentuk negara Indonesia. Sebagai gagasan pembuka, M. Yamin menyampaikan republik sebagai bentuk negara Indonesia. Ia menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara rakyat, bukan negara golongan, angkatan atas, maupun negara bangsawan. Setelah M. Yamin, Soepomo memberi pendapat tentang bentuk negara yang terkesan ragu-ragu mau memilih republik atau monarki.
Kemudian Soekarno memberi pendapat dari hasil pertimbangan mengenai prinsip keempat Pancasila, yakni kesejahteraan. Seokarno dengan tegas menolak monarki dan memilih sistem pemerintahan yang memberi kebebasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam hal politik di Indonesia. Dengan kata lain makna pendapat Soekarno secara tersirat ia mendukung penggunaan bentuk negara republik. Dalam sidang ini, pandangan mengenai republik diletakan dalam bentuk negara dan kepala negara.
Terdapat 12 pembahasan dalam sidang BPUPKI yag pertama, yakni mengenai kemerdekaan secepatnya, dasar negara, bentuk negara unitaris atau federal, daerah negara Indonesia, badan perwakilan rakyat, badan penasehat, bentuk negara dan kepala negara, soal pembelaan, soal keuangan, mengenai warga negara, mengenai daerah, dan mengenai agama. Pada tanggal 10 Juli 1945, Soekarno mewakili panitia kecil menyampaikan pendapat rancangan UUD, yang mana dalam usulan itu memuat ide republik. Usulan mengenai bentuk negara republik akhirnya diterima [1].
Penggunaan nama republik di Indonesia, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk turut ambil bagian dalam perpolitikan Indonesia, dan juga diharapkan agar kesejahteraan umum (bonum commune) dapat tercipta. Setelah kemerdekaan hingga saat ini, dinamika perpolitikan Republik Indonesia selalu berada dalam lingkaran perdebatan untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan vital negara Indonesia. Pergolakan Indonesia muda yang baru merdeka, tidak hanya datang dari talam tubuh (internal), tetapi juga dari intervensi-intervensi dari negara luar (eksternal), yakni peperangan.
Pergolakan dari dalam menyangkut keadaan ekonomi bangsa, sistem pemerintahan pusat Indonesia yang kurang stabil, persoalan perbedaan suku, sistem demokrasi yang berubah-ubah, dan persoalan negara kesatuan dan federal yang masih ada kemungkinan Indonesia untuk menganut model negara federal [9]. Persoalan mengenai perpolitikan di Indonesia memuncak pada masa reformasi bangsa Indonesia, yang mana mahasiswa Indonesia menjatuhkan Soeharto dari jabatannya selama kurang lebih 7 periode menjabat sebagai kepala negara.
Baca Juga: Menjaga Kelestarian Budaya Bangsa: Tantangan dan Solusi di Era Globalisasi
Era reformasi bangsa Indonesia seperti menjadi angin segar yang memberi semangat baru dan mendorong kondisi politik Indonesia menuju pada perkembangan. Kendati demikian masih ada persoalan-persoalan yang perlu diperhatikan soal sistem politik Indonesia, misalnya persoalan keadilan yang belum tercapai, dan yang paling banyak dikeluhkan adalah persoalan korupsi yang hingga saat ini masih menjadi benalu dalam tubuh bangsa Indonesia.
Analisis Hegel terhadap Penggunaan Nama Republik di Indonesia
Machavelli seorang filsuf abad pertengah mengemukakan pendapat bahwa suatu negara atau wilayah kekuasaan tempat manusia bernaung berbentuk negara republik atau kerajaan (monarki) [10]. Penetapan bentuk republik sebagai bentuk negara Indonesia seusai perdebatan antara monarki dan republik, Indonesia hingga saat ini masih berusaha untuk mencapai cita-cita negara republik yang tercantum dalam UUD 1945, misalnya tentang kesejahteraan rakyat Indonesia.
Secara historis, penggunaan nama republik di Indonesia tidak lepas dari perdebatan-perdebatan the founding fathers pada masa awal sebelum kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia yang telah menetapkan bentuk republik dalam sistem perpolitikan bangsa, kemudian diperhadapkan dengan perdebatan antara negara kesatuan atau negara federal. Persoalan-persoalan mengenai bentuk negara ini selalu diselesaikan dengan metode dialektika. Konsep dialektika Hegel diterapkan dalam penamaan nama Republik Indonesia.
Dialektika Hegel terdiri dari tiga tahap, yakni tahap tesis (argument awal), antithesis (argument pembantah tesis), dan sintesis (argument yang mendamaikan tesis dan sintesis). Kehadiran sintesis tidak berusaha mendamaikan tesis dan antithesis bukan memihak salah satu. Pada masa penentuan bentuk negara republik atau monarki, yang pasti pada masa itu negara Indonesia membutuhkan bentuk pemerintahan yang ada pemimpinnya. Secara sederhana perdebatan untuk menentukan bentuk negara seperti berikut:
Tesis: pada masa sidang sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia atau sidang BPUPKI, peserta sidang memberi pendapat bahwa negara ini harus memiliki perwakilan atau memiliki kepala negara, dalam hal ini bentuk negara yang diusulkan semacam bentuk negara monarki karena di situ ada opsi kepala negara yang nantinya bersifat turun-temurun.
Antitesis: bangsa Indonesia belajar dari revolusi Prancis, yang mana sistem monarki memungkinkan muncul pemimpin yang memiliki sifat hedonis, sehingga memungkinkan rakyat menderita. Perlawanan ini dimaksudkan agar bangsa Indonesia hendaknya kembali kepada kesejahteraan rakyat atau rakyat yang memimpin negara (demokrasi).
Sintesis: untuk mendamaikan tesis dan antithesis, the founding fathers, khususnya anggota panitia kecil, merumuskan UUD yang mengemukakan bentuk negara republik sebagai jalan keluar dari perdebatan antara siapa yang harus memimpin negara ini. Republik menjadi jalan tengah karena tidak terlalu berpihak pada sistem monarki dan tidak terlalu menjadi radikal terhadap demokrasi. Dengan kata lain negara Republik Indonesia memiliki pemimpin, namun pemimpin itu merupakan perwakilan dan bangsa Indonesia sendiri, yang mana dipilih oleh rakyat dengan regulasi-regulasi yang ditetapkan.
Penetapan bentuk negara republik kemudian merubah perilaku masyrakat Indonesia yang sebelumnya memiliki mental hamba yang tidak boleh terlibat dalam perpolitikan seperti pada sistem monarki akibat dari bekas jajahan Belanda harus mampu untuk memberi diri dalam partisipasi aktif dunia perpolitikan Indonesia. Selain itu, hasil preposisi republik ini, bangsa Indonesia harus mengutamakan kabaikan bersama, memahami keutamaan sebagai warga negara republik, berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan politik, dan menekankan institusi politik Indonesia untuk membangun dan menghantar warga negara menuju politik Indonesia.
Warga negara Indonesia kemudian harus menganut identitas sebagai warga negara modern. Kewarganegaraan modern Indonesia diatur dalam UU no. 3 tahun 1946 (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara Dan Penduduk Negara, n.d.). Sistem kewarganegaraan di Indonesia adalah sistem kepribadian yang tercantum dalam falsafah bangsa dan dasar negara Indonesia, yakni Pancasila [12].
Peran dialektika Hegel dalam diskursus politik bangsa Indonesia tidak hanya berhenti sampai di sini. Konsep Hegel ini masih dibutuhkan oleh para pemimpin bangsa untuk terus menciptakan inovasi-inovasi yang mampu membawa masyarakat Indonesia pada kesejahteraan seturut dengan perkembangan zaman ini. Banyak persoalan di tubuh politik bangsa Indonesia yang perlu diselesaikan.
Persoalan-persoalan itu berupa hal-hal ekonomi, misalnya korupsi; persoalan sosial mengenai perselisihan antar agama, tindakan separatis, persoalan sengketa tanah, dan lainnya; dan persoalan politik, yang mana keadaan politik di Indonesia saat ini tidak baik-baik saja.
Baca Juga: Melawan Arus Konsumerisme: Menuju Gaya Hidup Minimalis dan Berkelanjutan
Dengan menggunakan metode dialektika Hegel, maka usaha untuk mencapai jalan keluar yang mendamaikan perdebatan-perdebatan tanpa ada keberpihakan atau menghilangkan salah satu akan menjadi mungkin terjadi dan dapat membawa bangsa Indonesia pada kesejahteraan seturut dengan perkembangan zaman.
Studi Kasus: Perubahan Nama Negara di Indonesia
Bingkai sejarah bangsa Indonesia pernah diwarnai dengan perdebatan antara bentuk negara kesatuan dan negara federasi. Secara etimologis, kata federal berasal dari bahasa Latin feodus yang berarti liga. Liga berhubungan dengan negara-negara kota yang otonom pada zaman Yunani Kuno yang mana dipandang sebagai negara federal kuno. Konsep federal merupakan tatanan konstitusional dan kelembagaan politik yang desentralistis dibandingkan devolusi atau pendelegasian tugas dan fungsi kepada pemerintahan pedesaan, perkotaan, metropolitan, atau daerah [13].
Sedangkan negara kesatuan dapat disebut juga sebagai negara unitaris karena dilihat dari segi susunannya merupakan suatu negara yang tersusun tunggal, artinya negara kesatuan ini merupakan suatu negara yang tidak tersusun dari beberapa negara melainkan hanya terdiri atas satu negara dan tidak ada negara di dalam negara [14].
Perdebatan antara negara kesatuan dan negara federal ini terjadi karena aspek geografis negara Indonesia yang terdiri dari berbagai kepulauan [15], dan persoalan kemajemukan bangsa Indonesia dan pemeberian kebebasan kepada daerah-daerah negara Indonesia untuk mengatur sistem pemerintahannya sendiri, serta ada pula permainan dari pihak Belanda yang ingin mengambil kembali bangsa Indonesia sebagai negara jajahan.
Pada tahun 1949 sampai 1950 atau kurang lebih selama satu tahun negara Indonesia pernah menganut sistem federal yang terdiri dari 16 daerah bagian, yakni 7 negara bagian – negara Indonesia Timur, negara Pasundan, negara Jawa Timur, negara Madura, negara Sumatra, negara Sumatra Timur, dan Republik Indonesia. Nama negara Indonesia saat itu adalah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949. Pembentukan RIS ini dilatarbelakangi oleh permainan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar yang berusaha menunjukan kepada dunia bahwa negara Indonesia sudah runtuh dan mengklaim bahwa negara-negara bagian itu berdiri secara independen dengan memanfaatkan status quo yang tercantum dalam persetujuan Renville tanggal 17 Januari 1948 [16].
Kemunculan pemerintahan federal dalam tubuh bangsa Indonesia tidak berlangsung lama karena justru ditolak oleh para pemuda pejuang di negara-negara bagian yang dibentuk oleh Belanda. Setelah itu bangsa Indonesia kembali bersepakat untuk menyatakan diri sebagai bangsa yang satu atau menetapkan negara kesatuan sebagai bentuk negara Republik Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penutup
Republik berasal dari dua kata bahasa Latin, yakni res yang berarti hal, fakta, atau sesuatu; dan publica yang berarti public. Terdapat tiga bentuk kata republik, yakni republik, republikan, dan republikanisme. Negara Indonesia dalam kacamata historis penentuan bentuk negara, sempat mengalami perdebatan antara negara republik atau monarki.
Kesepakatan untuk menggunakan nama republik Indonesia atau menganut bentuk republik terjadi pada saat Ir. Soekarno mewakili panitia kecil mengusulkan rancangan UUD yang didalamnya menetapkan bentuk negara republik. Setelah penetapan bentuk negara Indonesia, persoalan berikut yang dihadapi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan adalah tentang negara kesatuan atau negara federal.
Persoalan ini muncul karena ada perdebatan tentang pemberian kewenangan bagi daerah-daerah dalam negara Indonesia untuk mengatur kepentingan masing-masing, selain itu negara federal ini juga dipelopori oleh negara Belanda dengan tujuan ingin menduduki kembali bangsa Indonesia. Kendati demikian, sistem negara federal tidak bertahan lama karena ada perlawanan dari pemuda pejuang bangsa Indonesia, dan kemudian muncul kesepakatan untuk menganut sistem negara kesatuan yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nama Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam perjalanan historisnya tidak terlepas dari proses dialektika. Dialog-dialog terjadi dalam perdebatan menentukan bentuk negara yang tepat. Setiap perdebatan selalu menghasilkan suatu putusan. Sejarah penamaan bangsa Indonesia menggunakan metode dialektika Hegel.
Metode yang terdiri dari tiga tahap, yakni tesis, antithesis, dan sintesis yang bersifat spiral atau tesis yang merupakan pendamaian antara tesis dan antithesis akan menjadi tesis baru dan diperhadapkan dengan antithesis baru lalu menghasilkan lagi sintesis baru. Perputaran dialektika Hegel akan terus berlangsung hingga menemukan suatu sintesis yang tidak dapat diperdebatkan lagi – yang disebut oleh Hegel sebagai “Roh absolut”.
Baca Juga: Dari Inspirasi ke Imitasi: Menarik Batas Antara Pengaruh dan Plagiarisme
Hingga saat ini, bangsa Indonesia masih diperhadapkan dengan banyak persoalan pada bidak ekonomi, sosial, dan politik. Metode dialektis masih diperlukan untuk menemukan jalan keluar dari persoalan-persoalan ini. Saran untuk penelitian kedepannya agar mengkaji dan menemukan jalan terbaik persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia dewasa ini dengan metode dialektika demi kesejahteraan masyarakat Indonesia seperti yang dicita-citakan dalam UUD 1945.
Pada akhirnya, metode dialektika Hegel mengajarkan kepada manusia sebagai animal rasionale untuk terus berpikir menciptakan inovasi-inovasi melalui dialog-dialog atau perdebatan. Tentang manusia yang berpikir, Aristoteles pernah berkata: “Tanda sebuah pemikiran yang terdidik yaitu mampu menimbang sebuah pemikiran tanpa menerima itu”.
Daftar Pustaka
[1] R. Robet, REPUBLIKANISME Filsafat Politik untuk Indonesia, Pertama. Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2021.
[2] “UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945.”
[3] M. Zulfikar Nur Falah Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur, an dan Sains Al-Ishlah, A. Bachtiar Firmansyah Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur, and L. Hakim Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur, “KANZ PHILOSOPHIA METODE DIALEKTIKA HEGEL DAN ANALISISNYA ATAS PARADIGMA HUKUM.”
[4] A. Muslim, “ETIKA DAN MORALITAS ALA GEORGE WILHELM FRIEDRICH HEGEL (Kaitannya dengan Filsafat Moral Versi Islam) ,” Pusaka J. Khazanah Keagamaan, vol. 4, no. 2, pp. 239–251, Oct. 2016.
[5] R. Gazali, “GEORGE WILHELM FREDRICH HEGEL: Metafisika, Epistemologi dan Etika ,” J. Diskurs. Islam, vol. 2, no. 1, pp. 84–92, Apr. 2014.
[6] Suyahmo, “Filsafat Dialektika Hegel: Relevansinya Dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” Humaniora, vol. 19, no. 2, pp. 143–150, 2007.
[7] R. Rohani, F. S. Fadillah, M. Ernita, and M. F. Zatrahadi, “Metode Analisis Dialektika Hegel Untuk Meningkatkan Berfikir Kritis Dan Kreatif Siswa Dalam Pembelajaran Ilmu Pendidikan Sosial,” TSAQIFA Nusant. J. Pembelajaran dan Isu-Isu Sos., vol. 1, no. 1, pp. 29–50, 2022.
[8] B. Wikantoso, “KONSEP INTERSUBJEKTIVITAS DALAM PHENOMENOLOGY OF SPIRIT KARYA GWF HEGEL,” DHARMASMRTI, vol. XV, no. 28, pp. 67–90, 2016.
[9] H. B. Suryosumarto, “Kemungkinan Indoneia Menjadi Negara Federal?,” J. Ketahanan Nas., vol. IV, no. 3, pp. 21–28, 1999.
[10] U. Mar’atun and H. Rohayuningsih, “Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia,” Forum Ilmu Sos., vol. 38, no. 1, 2011.
[11] “UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1946 TENTANG WARGA NEGARA DAN PENDUDUK NEGARA.”
[12] I. Nurvenayanti, “TEORI-TEORI KEWARGANEGARAAN KONTEMPORER,” J. Ilm. Ilmu Sos., vol. 2, no. 2, pp. 101–108, 2016.
[13] M. A. Santoso, “PENGALAMAN NEGARA FEDERAL DI INDONESIA.”
[14] E. Huroiroh, M. Fauzi, and U. Sunan Ampel Surabaya, “Sosio Yustisia : Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial KONSEP NEGARA FEDERASI DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”.
[15] C. B. Santoso, “Exploration of Asia Leadership Theory: Looking for an Asian Role in the Field of Leadership Theory,” J. Leadersh. Organ., vol. 1, no. 1, pp. 67–78, 2019, doi: 10.22146/jlo.44599.
[16] I. Sari, “FEDERAL VERSUS KESATUAN: SEBUAH PROSES PENCARIAN TERHADAP BENTUK NEGARA DALAM MEWUJUDKAN OTONOMI DAERAH,” 2015.