Ta’lim Muta’allim merupakan sebuah kitab ringkas, namun padat akan metode-metode bermoral dalam proses belajar-mengajar. Sebagai salah satu rujukan dasar umat muslim Indonesia dalam beretika, kitab ini telah digunakan sebagai kurikulum dasar di lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yakni pondok pesantren.
Tidak lama ini, terdapat seorang cendekiawan yang mengkritik atas Ta’lim Muta’allim ini. Pendapatnya mengungkapkan bahwa kitab ini terlalu dipuja oleh kalangan pesantren serta kitab ini bukan murni ajaran Islam, tetapi bentuk produk budaya di waktu dan ruang pada saat itu.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa kultur atau budaya selalu memberi efek pada segala sesuatu yang ada pada ruang dan waktu tersebut. Efek yang diberikan pun bervariasi dan berbeda-beda. Contoh kecil, seperti bentuk penghormatan berupa membungkuk pada manusia di Jepang, berbeda halnya dengan penghormatan di Indonesia yang cukup dengan merendahkan kepala.
Ta’lim Muta’allim yang dikarang di Bukhara, suatu daerah di Uzbekiztan pada masa dinasti Abbasiyah merupakan karangan Syaikh Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi. Beliau adalah seorang muslim yang bermadzhab Hanafi, sehingga tak heran jika karangannya berpijakan dengan konsep pendidikan Islam serta faktor-faktor lain yang mengembangkan teori-teori dasarnya, salah satunya adalah kultur timur tengah pada saat itu.[1]
Pengaruh Kultur Timur Tengah
Salah satu topik pembahasan yang termaktub dalam Ta’lim Muta’allim adalah tata cara mengormati ilmu dan ahli ilmu. Bab pembahasan dibuka oleh al-Zarnuji dengan pembahasan bahwa ilmu tidak akan diperoleh dan bermanfaat kecuali dengan menghormati ilmu, ahli ilmu dan guru. Perintah untuk menghormati dipaparkan secara gamblang di sabda Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:
عَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ، أَنَّ عَائِشَةَ مَرَّ بِهَا سَائِلٌ فَأَعْطَتْهُ كِسْرَةً، وَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ وَهَيْئَةٌ فَأَقْعَدَتْهُ فَأَكَلَ، فَقِيلَ لَهَا فِي ذَلِكَ، فقَالَت قال رَسُولُ اللَّه: ” أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ “…[2]
“…dari Maimun bin Abi Syabib, sesungguhnya lewat di depan Aisyah seorang pengemis, lalu ia memberinya remah-remahan makanan. Dan di suatu waktu, lewat di hadapannya lelaki yang berwibawa, lalu ia mempersilahkan duduk kepadanya dan memberinya makan, kemudian ia ditanyai perihal tersebut, Aisyah berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘tempatkanlah manusia sesuai derajat mereka”. (HR. Abu Daud)
Abdurrahman Sa’di memaparkan bahwa klasifikasi manusia di dalam hadis ini terbagi menjadi 2 golongan, yakni orang-orang yang memiliki hak khusus seperti orang tua, anak, guru dan ulama, dan orang-orang yang tidak memiliki hak khusus (sebatas hak sesama manusia dan beragama).
Pengaruh kultur Timur Tengah menyusupi tata cara menghormati ilmu dan guru dengan cara pendekatan pelaku hukum pada saat itu. Umat Islam pada saat itu yang notabenenya berbudaya dengan budaya Timur Tengah, menghormati dengan perilaku-perilaku yang mereka anggap penghormatan di kalangan mereka. Common Sense mereka mendorong untuk berperilaku sesuai apa yang pantas di sekitar mereka.
Baca Juga: Sekolah Alam sebagai Pendidikan Alternatif
Salah satu motif pengajaran pada saat itu adalah kuatnya doktrin untuk berpendidikan yang melahirkan metode pembelajaran dengan interaksi satu arah.[3] Sehingga, dalam Ta’lim Muta’allim tatacara beretika yang ditawarkan adalah beretika sesuai metode pembelajaran yang ada, seperti tidak memulai pembicaraan, tidak memperbanyak bicara di hadapan guru, mendengarkan ilmu dengan hormat dan hikmat meskipun diulang-ulang, tidak mendahului guru dalam menjelaskan pelajaran atau menjawab persoalan dan lain-lain.
Salah satu faktor yang menyebabkan hal demikian terjadi adalah dwifungsi seorang guru, guru yang berperan sebagai penuntun jiwa (sufistik) dan penyalur nilai-nilai pengetahuan (pragmatik). Umumnya diksi-diksi pada Ta’lim Muta’allim memposisikan guru sebagai sesosok yang merangkap dua peran di atas. Sehingga tak heran, apabila mereka mendapat perilaku sebagaimana demikian.
Seorang guru yang telah memenuhi dua peran tersebut, diposisikan sebagai orang yang alim, wara, saleh serta menjadi tauladan bagi seluruh muridnya. Peran sufistik juga memposisikan murid sebagai pasien yang harus patuh sepenuhnya kepada dokter.
Dalam perspektif ilmu Ushul Fikih, praktik berpisahnya penjual dan pembeli dalam suatu transaksi ditentukan oleh kebiasaan dan budaya yang berlaku. Hal ini disebabkan oleh berdirinya budaya atau kebiasaan yang ada sebagai landasan hukum tersier dalam Islam.[4] Kasus yang serupa sebagaimana dalam penghormatan dalam tokoh guru disini, masyarakat Timur Tengah khususnya al-Zarnuji menerapkan praktik penghormatan sesuai budaya dan kebiasaannya dalam karangannya.
Relevansi
Relevansi Ta’lim Muta’allim sebagai kurikulum bermoral di Nusantara dewasa ini, perlu ditinjau kembali di sebagian kecil poinnya. Perkembangan zaman dan pemikiran baru menggiring pada perubahan beberapa metode pembelajaran kini. Pembelajaran pada era ini berorientasi pada pengetahuan yang memadai, bersikap ilmiah, literasi dan komunikasi bersama.[5]
Pembelajaran di Indonesia telah beradaptasi dengan metode diskusi dan debat. Kedua metode ini dapat dilakukan dengan antar murid dan antar guru dan murid. Dalam beberapa kasus, ketika metode ini digunakan, guru seringkali memposisikan dirinya sebagai peserta diskusi dan juga oposisi debat.
Selain itu, guru di pendidikan formal di masa kini jarang mengisi peran sufistiknya. Demikian, mengantarkan pada kurangnya figur guru yang dapat disegani serta ditauladani. Di samping itu, metode pembelajaran debat dan diskusi juga merubah mindset murid untuk tidak bersikap “kaku” dalam berinteraksi dengan guru.
Baca Juga: Menelaah Pemikiran Al-Farabi: Bagaimana Negara yang Ideal?
Hal ini menyebabkan berkurangnya efektifitas dan efisensi dari kurikulum dasar dalam Ta’lim Muta’allim, hal inilah yang menimbulkan kritik dari sebagian kalangan atas relevansi Ta’lim Muta’allim ini.
Solusi dari kontradiksi ini, hemat penulis, adalah tercantum dalam prinsip berikut:
المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ
“Menjaga tradisi terdahulu yang baik, serta mengambil hal baru yang lebih baik.”
Metode beretika Ta’lim Muta’allim yang sudah ada sejak dahulu perlu dilestarikan. Namun, adanya perubahan zaman, tidak bisa kita acuhkan. Sehingga alangkah baiknya, seorang murid memposisikan dirinya masing-masing di hadapan guru beserta tipologinya dan pembelajarannya. Menerima dan belajar beradaptasi dengan pergerakan sebagai bentuk penghormatan pada ilmu.
[1] Dicky Wirianto, “Konsep Pedagogik Al-Zarnuji,” Islamic Studies Journal 1, no. 2 (2013): 3, https://www.academia.edu/download/54939744/Konsep_Pedagogik_Az-Zarnuji.pdf.
[2] Abu Dawud Al-Sajastani, Sunan Abu Dawud, 1st ed., vol. 4 (Beirut: Dar Al-Fikr, n.d.), 261.
[3] Ahmad Zain Sarnoto, “Pemikiran Pendidikan Islam : Doktrin Islam Tentang Pendidikan,” Jurnal Statement : Media Informasi Sosial dan Pendidikan 4, no. 2 (February 1, 2021): 111, https://doi.org/10.56745/js.v4i2.74.
[4] Abdurahman Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzair, 1st ed., vol. 1 (Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 1990), 98.
[5] Achmad Ali Fikri dkk., “Keterampilan Guru Dalam Membimbing Diskusi Pada Pembelajaran Abad 21,” Journal of Education and Teaching 2, no. 1 (2021): 5.