Apa hakikat pendidikan? Apakah berkiblat pada tujuan memanusiakan manusia? Lalu upaya apa saja yang sudah dilakukan sistem pendidikan kita hari ini? Apakah menjembatani tujuan tersebut, atau malah mengeruk keuntungan darinya?
Selama ini, kebanyakan murid menganggap sekolah sebagai tempat yang membosankan. Bahkan, tak jarang menyeramkan akibat praktik pendisiplinan beserta aturan-aturan yang mengikat. Murid menjadi merasa terpaksa untuk belajar dan tidak dapat mengeksplorasi hal-hal yang disenanginya. Akibatnya, berbagai penyimpangan dan kenakalan dilakukan oleh murid. Sekolah (pada umumnya) tidak memberikan perhatian khusus bagi setiap individu yang memiliki tingkat pemahaman dan ketertarikan yang berbeda-beda. Sistem pendidikan kita hari ini merupakan bentuk penyeragaman, bahkan hingga penyeragaman pola pikir.
Murid harus memasuki area sekolah di dalam gedung, mengenakan seragam, menaati jam belajar yang telah ditentukan, mengerjakan tugas yang tidak disenangi, dan dibebankan untuk menguasai berbagai mata pelajaran. Sekolah membentuk murid untuk menjadi patuh dan tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi hal yang disenanginya.
Bentuk-bentuk penyeragaman ini perlahan-lahan membunuh daya kritis murid. Ketika murid dihadapkan pada kehidupan nyata, seringkali murid membutuhkan penyesuaian dan pembelajaran lagi. Pun ketika murid keluar dari sekolah, mereka kebingungan atas potensi diri dan minatnya. Bahkan, tak jarang murid kebingungan ketika selesai sekolah. Tidak tahu akan ke mana dan pekerjaan apa yang diminatinya.
Sudah seharusnya pendidikan dapat membantu murid menggali potensi dirinya. Sekolah alam hadir untuk menawarkan alternatif bagi pendidikan kita hari ini. Sekolah alam menggunakan alam sebagai media belajar dengan metode belajar action learning (pembelajaran langsung). Model pembelajaran di sekolah alam menyediakan wadah bagi murid untuk mengalami proses belajar yang menyenangkan.
Melalui pembelajaran yang diselenggarakan di alam terbuka, para murid dapat belajar langsung dengan media-media di alam dan mempraktikannya secara konkret. Dengan metode pembelajaran ini, murid akan secara aktif dilibatkan dalam kegiatan yang mengasah keterampilan murid dengan elemen visual, spasial, kinestetis, dan naturalis. Murid pun dilihat sebagai manusia seutuhnya yang diperlakukan dengan dasar kasih sayang. Pada intinya, sekolah alam kembali merealisasikan alam sebagai ‘guru’ manusia yang sebenarnya.
Anak-anak akan dikenalkan pada konsep kehidupan nyata di lingkungan yang sebenarnya. Alam menjadi laboratorium terbuka bagi siapa pun untuk belajar. Tidak hanya murid, guru dan orang tua pun sama-sama mengalami proses belajar.
Sekolah alam di Indonesia pertama kali dicetuskan oleh Lendo Novo. Model pendidikannya memandang potensi semua siswa sama dan mengutamakan keunikan dan diferensiasi individual pada bakat, minat dan intelegensinya. Konsep Sekolah Alam mengintegrasikan tiga pilar pendidikan yang diyakini menjadi faktor kunci keunggulan umat manusia, yaitu pilar iman, ilmu dan kepemimpinan (Ningrum et al, 2019). Pada mulanya, sekolah alam dikembangkan oleh Lendo Novo untuk membuat pendidikan yang lebih inklusif bagi anak-anak yang tidak mampu bersekolah agar mendapatkan pendidikan yang layak. Saat ini, sekolah alam memiliki banyak peminat dan sudah berkembang di berbagai daerah di Indonesia.
Baca Juga: Polemik Kenaikan UKT! Bukti Pendidikan Tinggi Dijadikan Bisnis?
Menilik dari apa yang telah dicetuskan oleh Lendo Novo, saat ini model pendidikan sekolah alam telah menghasilkan embrio-embrio sekolah alam baru lainnya. Dengan bermodalkan semangat yang sama, berbagai lembaga pendidikan menginisiasikan sekolah alam alternatif. Salah satu model sekolah alam alternatif adalah Sanggar Anak Alam (SALAM). Sebagai sekolah alternatif, SALAM tidak menentukan jadwal pelajaran yang baku bagi peserta didik (Pradewi et al, 2019). SALAM memberikan kebebasan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi hal yang ingin dipelajarinya dengan mengembangkan kurikulum berbasis riset.
Fokus riset akan disesuaikan dengan kehidupan nyata masing-masing peserta didik yang dekat dan kontekstual dengan mereka. Model kurikulum ini memberikan ruang bagi peserta didik untuk belajar langsung dari ketertarikan mereka. Peserta didik diarahkan dengan prinsip titen atau niteni selama riset berlangsung. Hasilnya, peserta didik sendiri lah yang menyimpulkan temuan hasil riset mereka. Di akhir proyek riset, peserta didik akan mempresentasikan hasil risetnya sesuai dengan kesiapan mereka masing-masing.
Model kurikulum SALAM ini menerapkan model paradigma pedagogi kritis. Dengan melakukan metode pembelajaran riset dan diskusi, peserta didik dilatih untuk berpikir secara kritis. Peserta didik pun dilatih untuk memiliki kepekaan pada lingkungan sekitar sehingga ilmu yang didapat bisa diterapkan secara kontekstual. SALAM tidak menerapkan proses seleksi peserta didik, tetapi mereka menyeleksi orang tua peserta didik untuk membangun kesepahaman (Pradewi et al, 2019). Orang tua peserta didik akan diajak berdialog mengenai visi, misi, dan pembiayaan sekolah SALAM.
Dengan dialog ini, SALAM mengutamakan kerja sama dengan orang tua peserta didik untuk menerapkan proses belajar yang telah disepakati. Model pendidikan SALAM merupakan bentuk pendidikan alternatif yang dapat membina peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya. Dengan kata lain, model pendidikan SALAM berupaya untuk mewujudkan marwah pendidikan yaitu untuk memanusiakan manusia.
Referensi
- Ningrum, I. K., & Purnama, Y. I. (2019). Sekolah alam.
- Pradewi, G. I., Wijayanti, W., & Sukowati, S. (2019). Manajemen Peserta Didik di PKBM Berbasis Alam Studi pada Sanggar Anak Alam (SALAM). Kelola: Jurnal Manajemen Pendidikan, 6(2), 193-205.