Biaya ekspor dunia mencerminkan dinamika yang kompleks dan penuh tantangan, terutama dengan kebijakan tarif baru yang diterapkan beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Penerapan tarif ekspor dan impor oleh Amerika Serikat, khususnya di bawah pemerintahan Donald Trump, membawa dampak luas dan signifikan terhadap perdagangan global.
Kebijakan ini memicu ketidakpastian ekonomi, mengganggu rantai pasok internasional, menurunkan volume perdagangan, serta memberikan tekanan berat pada negara-negara berkembang dan eksportir besar.
Efek domino tersebut tidak hanya dirasakan oleh mitra dagang Amerika, tetapi juga berdampak balik terhadap ekonomi negara itu sendiri. Kondisi ini memperlihatkan betapa terhubung dan rentannya sistem perdagangan global saat ini. Ketergantungan antarnegara membuat setiap perubahan kebijakan besar berisiko menimbulkan guncangan luas.
Pada awal April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penerapan tarif minimum sebesar 10% untuk hampir semua produk impor. Langkah ini menjadi bagian dari strategi pemerintah AS untuk mengatasi surplus perdagangan dari beberapa negara tertentu, termasuk Indonesia dan Vietnam, yang bahkan dikenakan tarif lebih tinggi hingga 46%. Kebijakan ini berpotensi menambah biaya ekspor serta menurunkan daya saing produk di pasar internasional.
Secara garis besar, kebijakan tarif yang diberlakukan meliputi beberapa skema penting. Pertama, tarif universal sebesar 10% mulai diterapkan untuk hampir semua barang impor dari seluruh dunia, dengan pengecualian untuk beberapa negara dan produk tertentu. Tarif ini diberlakukan untuk barang dengan nilai di atas ambang batas de minimis sebesar 800 dolar AS dan dijadikan sebagai dasar baru dalam struktur tarif.
Kedua, Amerika Serikat memberlakukan tarif yang lebih tinggi untuk negara-negara dengan surplus perdagangan besar terhadap AS. Sebagai contoh, China, Hong Kong, dan Makau dikenakan tarif mencapai 125%, yang kemudian diperparah dengan tarif tambahan sebesar 20%, sehingga total mencapai 145%. Untuk negara lain seperti Indonesia, tarif resiprokal yang dikenakan sebesar 32%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Kamboja 49%, Uni Eropa 20%, dan Inggris 10%.
Kebijakan tarif ekspor-impor Amerika Serikat di tahun 2025 ini tergolong sangat agresif dan bertingkat. Akibatnya, arus perdagangan global menjadi tertekan, mengurangi daya saing eksportir ke pasar AS, dan meningkatkan risiko terjadinya retaliasi dari negara mitra dagang utama. Negara-negara yang terdampak kini berupaya menyesuaikan strategi ekspor mereka untuk tetap kompetitif di tengah perubahan ini.
Di Indonesia, Menteri Perdagangan Budi Santoso telah menargetkan peningkatan ekspor nasional hingga mencapai 294,45 miliar dolar AS pada tahun 2025, dengan harapan pertumbuhan sebesar 7,1%. Namun, adanya penerapan tarif tinggi oleh negara mitra dagang, terutama Amerika Serikat, menjadi tantangan besar dalam mewujudkan target tersebut.
Ekonom memperingatkan bahwa beban biaya tambahan akibat tarif dapat menyebabkan penurunan produksi serta berdampak pada lapangan kerja di sektor ekspor nasional.
Selain tarif, harga komoditas global juga menjadi faktor penting dalam menentukan biaya ekspor. Misalnya, harga referensi minyak sawit mentah (CPO) yang mengalami penurunan akan berdampak pada tarif bea keluar yang ditetapkan pemerintah.
Penurunan harga ini dapat menjadi peluang bagi eksportir untuk tetap kompetitif di pasar global. Namun, volatilitas harga juga membawa risiko besar, terutama bila tren penurunan berlangsung dalam jangka panjang.
Ketegangan geopolitik dan ketidakpastian dalam hubungan perdagangan internasional turut memperumit situasi. Perang dagang yang berlarut-larut antara Amerika Serikat dan China menunjukkan bahwa perusahaan harus bersiap menghadapi perubahan kebijakan yang cepat dan seringkali tidak terduga.
Tak hanya perusahaan besar, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga menjadi bagian penting dari strategi ekspor nasional. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekspor dari sektor UMKM sebesar 9,63% pada tahun 2025.
Namun, UMKM cenderung lebih rentan terhadap fluktuasi biaya dan perubahan kebijakan tarif dibandingkan perusahaan besar. Oleh karena itu, diperlukan dukungan ekstra dari pemerintah untuk memperkuat daya saing UMKM di pasar global melalui pelatihan, pembiayaan, dan diversifikasi pasar tujuan ekspor.
Kebijakan tarif ekspor Amerika Serikat yang agresif akan terus menjadi faktor utama yang mempengaruhi dinamika perdagangan dunia. Negara-negara eksportir seperti Indonesia perlu mengantisipasi dampak ini dengan memperkuat strategi diversifikasi pasar dan meningkatkan kualitas produk agar tetap kompetitif dalam kancah global yang semakin menantang.