John Locke, seorang filsuf politik dan pemikir besar abad ke-17, menjadi salah satu pelopor utama dalam memperjuangkan toleransi beragama di tengah konflik dan persekusi yang melanda Eropa pada masa itu. Lahir pada tahun 1632 di Wrington, Inggris, Locke menghabiskan sebagian besar karirnya di Oxford dan menjadi salah satu tokoh penting dalam gerakan Pencerahan (Enlightenment) yang mempromosikan rasionalisme dan kebebasan berpikir. Melalui karya-karyanya seperti “A Letter Concerning Toleration” (Surat tentang Toleransi) yang diterbitkan pada tahun 1689, Locke menyuarakan gagasan revolusioner bahwa negara tidak boleh memaksakan keyakinan agama tertentu kepada warganya dan setiap individu harus memiliki kebebasan untuk menganut dan mempraktikkan agama sesuai dengan keyakinan mereka sendiri (Juhari, 2013) .
Dalam karya monumentalnya “A Letter Concerning Toleration”, Locke menawarkan solusi yang sangat berbeda dari pandangan umum pada masa itu. Ia berpendapat bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk memaksakan agama tertentu atau mengintervensi keyakinan spiritual individu. Menurutnya, keyakinan agama adalah wilayah privat yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara. Locke menegaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan hak alamiah untuk memilih dan menjalankan agamanya sendiri tanpa campur tangan dari otoritas manapun.
Dalam pemikirannya yang cemerlang, Locke mengajukan argumen bahwa toleransi beragama bukan hanya merupakan tuntutan kemanusiaan yang adil, tetapi juga merupakan prasyarat bagi terciptanya perdamaian dan stabilitas dalam masyarakat yang majemuk. Beliau meyakini bahwa negara tidak memiliki otoritas untuk mengatur masalah spiritual dan keyakinan individu, melainkan hanya bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan keamanan publik. Dengan demikian, toleransi beragama menjadi suatu keharusan bagi pemerintah untuk menghormati kebebasan beragama warganya, selama keyakinan mereka tidak mengancam ketertiban umum atau melanggar hak-hak orang lain (Locke,1689).
Lebih jauh lagi, Locke mengemukakan bahwa toleransi beragama justru menjadi prasyarat untuk menciptakan perdamaian, stabilitas, dan kemajuan dalam masyarakat yang beragam. Dengan mengakui dan menghargai perbedaan keyakinan agama, masyarakat dapat menghindari perpecahan dan konflik yang merusak. Toleransi beragama memungkinkan setiap kelompok untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati, sehingga tercipta kohesi sosial yang kuat (Fatmawati, 2016).
Pemisahan antara Negara dan Gereja
Pemisahan antara negara dan gereja merupakan salah satu poin utama dalam konsep toleransi beragama yang dikemukakan oleh John Locke. Locke menekankan pentingnya memisahkan otoritas negara dan otoritas gereja secara tegas. Menurutnya, negara tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri urusan keagamaan warga negaranya, sementara gereja juga tidak boleh memaksakan kepercayaan atau ajarannya kepada warga negara dengan menggunakan kekuasaan negara.
Locke berpendapat bahwa negara harus bersikap netral dalam hal agama dan tidak mendukung atau memihak satu agama tertentu. Tugas utama negara adalah mengatur kehidupan sipil warga negaranya dan menjamin keamanan serta ketertiban umum. Negara tidak memiliki kewenangan untuk mendikte keyakinan agama yang harus dianut oleh warganya atau memaksakan satu agama tertentu. Negara harus memberikan kebebasan kepada warganya untuk memilih dan menjalankan keyakinan agama masing-masing tanpa intervensi atau paksaan (John et al., 2021).
Di sisi lain, gereja atau lembaga keagamaan juga tidak boleh menggunakan kekuasaan negara untuk memaksakan kepercayaan atau ajarannya kepada warga negara. Gereja harus menjalankan aktivitas ke agamawan nya secara mandiri dan tidak dapat memaksa warga negara untuk mengikuti ajarannya dengan menggunakan kekuatan negara, seperti hukum atau aparat negara. Gereja harus menghormati kebebasan beragama setiap individu dan tidak memaksakan keyakinannya dengan cara-cara yang melanggar hak asasi manusia.
Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik antara negara dan agama, serta menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Jika negara turut campur dalam urusan keagamaan, maka dapat memicu pertentangan dengan kelompok-kelompok agama tertentu yang merasa terganggu atau di diskriminasi. Begitu pula jika agama menggunakan kekuasaan negara untuk memaksakan ajarannya, hal ini akan melanggar hak kebebasan beragama warga negara lainnya yang tidak menganut ajaran tersebut (Tebay, 2008).
Dengan adanya pemisahan ini, negara dapat berkonsentrasi pada tugas-tugas sipil nya, seperti menjaga keamanan, memelihara ketertiban umum, dan mengurus kesejahteraan warga negaranya. Sementara itu, warga negara dapat menjalankan keyakinan agama mereka secara bebas tanpa intervensi dari negara atau paksaan dari agama lain. Masing-masing pihak dapat fokus pada wilayah kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri, sehingga tercipta suasana yang harmonis dan toleran dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa meskipun negara dan agama memiliki wilayah kekuasaan yang terpisah, keduanya tetap harus saling menghormati dan tidak melanggar hak-hak satu sama lain. Negara tetap harus menjamin kebebasan beragama warganya, sementara agama juga harus mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di negara tersebut. Dengan adanya saling menghormati dan toleransi antara negara dan agama, maka kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan damai dan harmonis (Casram, 2016).
Gagasan pemisahan antara negara dan gereja yang dikemukakan Locke ini menjadi landasan penting bagi konsep sekularisme dan kebebasan beragama di negara-negara modern. Pemisahan ini dianggap penting untuk mencegah konflik dan menjamin hak setiap individu untuk menjalankan keyakinan agamanya secara bebas tanpa intervensi atau paksaan dari pihak manapun. Negara tidak lagi menggunakan kekuasaannya untuk mendukung atau memaksakan satu agama tertentu, melainkan memberikan kebebasan yang sama kepada semua warga negaranya untuk memeluk dan menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Baca Juga: Ancaman Disintegrasi Bangsa: Kritik Media Sosial Menurut Neil Postman
Di sisi lain, agama juga tidak dapat menggunakan kekuasaan negara untuk memaksakan ajarannya kepada warga negara lainnya. Setiap kelompok agama harus menjalankan aktivitas ke agamawan nya secara mandiri dan tidak melibatkan kekuasaan negara untuk memaksa orang lain mengikuti ajaran mereka. Dengan demikian, tercipta suasana toleransi dan saling menghormati antara berbagai kelompok agama di masyarakat (Casram, 2016).
Melalui pemisahan antara negara dan gereja ini, Locke berharap dapat menciptakan masyarakat yang damai, aman, dan harmonis, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinan agamanya secara bebas tanpa konflik atau diskriminasi. Gagasan ini menjadi salah satu pilar penting dalam konsep kebebasan beragama dan toleransi di dunia modern (Doering, 2013).
Kebebasan Beragama Sebagai Hak Dasar Manusia
Kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia merupakan salah satu prinsip utama dalam konsep toleransi beragama yang dikemukakan oleh John Locke. Locke berpendapat bahwa kebebasan beragama merupakan hak dasar setiap individu. Setiap orang harus bebas untuk memilih dan menjalankan keyakinan agamanya tanpa paksaan dari pihak lain, baik negara maupun kelompok agama tertentu.
Menurut Locke, kebebasan beragama bukan hanya sekedar kebebasan untuk memeluk suatu agama, tetapi juga kebebasan untuk tidak memeluk agama sama sekali (ateisme atau agnostisisme). Setiap individu memiliki hak untuk menentukan sendiri keyakinan atau kepercayaan yang akan di anut nya, tanpa campur tangan atau paksaan dari pihak lain. Locke menentang praktik-praktik pemaksaan keyakinan yang terjadi di masa lalu, di mana negara atau kelompok agama tertentu memaksa masyarakat untuk memeluk agama tertentu.
Locke berpendapat bahwa keyakinan agama harus muncul dari pilihan bebas dan kesadaran individu itu sendiri. Jika seseorang dipaksa untuk memeluk suatu agama, maka keyakinannya tidak akan tulus dan tidak memiliki makna yang sebenarnya. Oleh karena itu, negara atau kelompok agama manapun tidak dibenarkan untuk memaksa individu lain untuk memeluk agama tertentu. Keyakinan agama yang tulus hanya dapat tumbuh dari hati nurani dan pemahaman pribadi masing-masing individu.
Kebebasan beragama juga mencakup kebebasan untuk menjalankan ritual dan praktik keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Individu harus diberikan ruang untuk mengekspresikan keyakinan agamanya, baik melalui ibadah, perayaan hari besar keagamaan, maupun praktik-praktik keagamaan lainnya. Negara tidak boleh membatasi atau melarang warganya untuk menjalankan ritual dan ibadah sesuai dengan keyakinan agama mereka, selama tidak melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum (Karsa et al., 2024).
Namun, Locke juga mengingatkan bahwa kebebasan beragama bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Kebebasan ini harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan tidak merugikan hak-hak orang lain atau mengganggu ketertiban umum. Setiap individu harus menghormati hak kebebasan beragama orang lain, dan tidak menggunakan kebebasannya untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum atau mengancam keamanan masyarakat.
Konsep kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia ini menjadi tonggak penting dalam perkembangan pemikiran tentang toleransi dan hak asasi manusia. Locke meyakini bahwa toleransi beragama tidak dapat tercapai jika individu tidak diberikan kebebasan untuk memilih dan menjalankan keyakinan agamanya secara bebas. Gagasan ini merupakan kritik terhadap praktik-praktik diskriminasi dan pemaksaan keyakinan yang terjadi di masa lalu, di mana negara atau kelompok agama tertentu memaksakan keyakinannya kepada masyarakat luas. Locke menganggap hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan berpotensi memicu konflik dan kekerasan (Mumtahar Kholil, 2021).
Dengan menjamin kebebasan beragama sebagai hak dasar, Locke berharap dapat menciptakan masyarakat yang toleran dan harmonis, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinan agamanya tanpa rasa takut atau diskriminasi. Kebebasan beragama juga diyakini dapat mendorong terciptanya suasana saling menghormati dan saling memahami di antara berbagai kelompok agama yang berbeda. Dalam masyarakat yang toleran, setiap individu dapat menjalankan keyakinan agamanya dengan damai, tanpa merasa terancam atau terdiskriminasi.
Gagasan kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia ini kemudian menjadi salah satu pilar penting dalam perkembangan konsep hak asasi manusia di dunia modern. Berbagai deklarasi dan konvensi internasional tentang hak asasi manusia, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, menegaskan kembali prinsip kebebasan beragama sebagai hak fundamental yang harus dijamin dan dilindungi oleh setiap negara. Negara-negara di dunia dituntut untuk menjamin kebebasan beragama bagi warga negaranya dan mencegah terjadinya diskriminasi atau pelanggaran hak atas dasar keyakinan agama (International Law Making, 2006).
Meskipun masih terdapat tantangan dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama di berbagai belahan dunia, gagasan Locke ini tetap menjadi pondasi penting dalam upaya mempromosikan toleransi, kerukunan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara universal. Prinsip kebebasan beragama terus diperjuangkan dan dijadikan acuan dalam upaya menciptakan masyarakat yang damai dan menghargai keragaman keyakinan.
Dengan demikian, konsep kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia yang diusung Locke menjadi landasan penting bagi terwujudnya toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Gagasan ini mendorong setiap individu untuk saling menghormati keyakinan masing-masing, dan mencegah praktik-praktik diskriminasi atau pemaksaan keyakinan yang dapat memicu konflik dan kekerasan. Kebebasan beragama merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi demi terciptanya masyarakat yang harmonis dan damai (Antasari, 2014).
Batasan Toleransi: Tidak Mengganggu Ketertiban Umum
Meskipun Locke menekankan pentingnya kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia, ia juga memberikan batasan terhadap toleransi tersebut. Locke berpendapat bahwa toleransi hanya dapat diterapkan selama keyakinan dan praktik agama tersebut tidak mengganggu ketertiban umum, mengancam keamanan negara, atau melanggar hukum yang berlaku.
Pembatasan ini didasarkan pada pemikiran bahwa meskipun setiap individu memiliki hak untuk menjalankan keyakinan agamanya, namun hak tersebut tidak boleh merugikan hak-hak dan keamanan orang lain atau kepentingan negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, Locke berpendapat bahwa toleransi tidak dapat diberlakukan secara mutlak tanpa pengecualian (Karsa et al., 2024).
Contoh konkret dari pembatasan toleransi ini adalah bahwa suatu kelompok agama tidak dapat melakukan ritual atau praktik keagamaan yang melanggar hukum, seperti melakukan kekerasan atau menghasut kebencian terhadap kelompok lain. Kekerasan dan kebencian semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip toleransi dan dapat mengancam keamanan serta ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, negara berhak untuk tidak mentolerir dan melarang praktik-praktik tersebut.
Selain itu, jika suatu ajaran agama menganjurkan tindakan yang mengancam keamanan negara atau stabilitas masyarakat, maka negara berhak untuk tidak mentolerir ajaran tersebut. Misalnya, jika suatu kelompok agama menyerukan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah atau menghasut pengikutnya untuk melakukan tindakan anarkis, maka negara dapat membatasi toleransi terhadap ajaran tersebut demi menjaga keamanan dan stabilitas negara.
Locke juga menganggap bahwa toleransi tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok atau individu yang tidak mentolerir kelompok lain. Dengan kata lain, toleransi hanya berlaku bagi mereka yang juga bersedia mentolerir keyakinan dan praktik agama yang berbeda. Jika suatu kelompok agama bersikap intoleran dan menolak untuk menghormati keyakinan lain, maka kelompok tersebut tidak dapat mengklaim hak untuk ditoleransi oleh negara atau kelompok lain (Marpuah, 2019).
Pembatasan toleransi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan kepentingan umum masyarakat serta negara. Locke menyadari bahwa kebebasan beragama bukanlah hak yang tidak terbatas, melainkan harus dijalankan dengan tanggung jawab dan tidak merugikan hak-hak orang lain atau stabilitas negara.
Dengan adanya batasan ini, Locke berharap dapat menciptakan masyarakat yang aman, damai, dan terlindungi dari tindakan intoleransi atau kekerasan atas nama agama. Masyarakat yang toleran harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip seperti keadilan, kesetaraan, dan saling menghormati satu sama lain. Namun, toleransi juga memiliki batas-batas tertentu untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan beragama yang dapat merugikan kepentingan umum.
Pandangan Locke tentang batasan toleransi ini menjadi dasar penting bagi konsep kebebasan beragama di negara-negara modern. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kebebasan beragama warga negaranya, namun juga harus menjaga ketertiban dan keamanan nasional. Oleh karena itu, toleransi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan tidak melanggar hukum atau mengancam stabilitas masyarakat (Karsa et al., 2024).
Dengan demikian, batasan toleransi yang dikemukakan Locke bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinan agamanya dengan bebas namun tetap menghormati hak-hak orang lain dan mematuhi hukum yang berlaku. Toleransi bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan sebuah prinsip yang harus dijalankan dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab demi terciptanya kerukunan dan keamanan bersama(Bakar et al., 2015) .
Kesimpulan
Locke menekankan pentingnya memisahkan otoritas negara dan otoritas gereja secara tegas. Negara tidak boleh mencampuri urusan keagamaan warga negara, dan gereja tidak boleh memaksakan kepercayaannya menggunakan kekuasaan negara. Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah konflik dan menjamin kebebasan beragama. Locke berpendapat bahwa negara harus bersikap netral dalam hal agama dan tidak memihak satu agama tertentu. Tugas utama negara adalah mengatur kehidupan sipil warga negara dan menjamin keamanan serta ketertiban umum. Di sisi lain, gereja harus menjalankan aktivitas keagamaannya secara mandiri tanpa melibatkan kekuatan negara untuk memaksa warga negara mengikuti ajarannya.
Locke berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih dan menjalankan keyakinan agamanya tanpa paksaan dari pihak manapun. Kebebasan beragama mencakup kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk agama. Keyakinan agama harus muncul dari pilihan bebas individu itu sendiri. Locke menentang praktik-praktik pemaksaan keyakinan yang terjadi di masa lalu, di mana negara atau kelompok agama tertentu memaksa masyarakat untuk memeluk agama tertentu. Menurutnya, keyakinan agama yang tulus hanya dapat tumbuh dari hati nurani dan pemahaman pribadi masing-masing individu.
Meskipun menegaskan kebebasan beragama, Locke memberikan batasan bahwa toleransi hanya berlaku selama keyakinan dan praktik agama tidak mengganggu ketertiban umum, mengancam keamanan negara, atau melanggar hukum. Toleransi tidak dapat diberlakukan secara mutlak tanpa pengecualian. Contohnya, suatu kelompok agama tidak dapat melakukan ritual atau praktik keagamaan yang melanggar hukum, seperti melakukan kekerasan atau menghasut kebencian terhadap kelompok lain. Selain itu, jika suatu ajaran agama menganjurkan tindakan yang mengancam keamanan negara atau stabilitas masyarakat, maka negara berhak untuk tidak mentolerir ajaran tersebut.
Gagasan Locke ini menjadi landasan penting bagi konsep sekularisme, kebebasan beragama, dan toleransi di negara-negara modern. Locke berharap dapat menciptakan masyarakat yang harmonis, di mana setiap individu dapat menjalankan keyakinan agamanya secara bebas namun dengan tanggung jawab, serta saling menghormati satu sama lain. Pandangannya tentang pemisahan negara dan gereja, kebebasan beragama sebagai hak dasar, serta batasan toleransi menjadi dasar penting bagi perkembangan konsep hak asasi manusia dan toleransi di dunia modern.
Baca Juga: Vladimir Lenin: Pemikiran Revolusioner dalam Konteks Sejarah dan Relevansi Terhadap Kaum Buruh
Melalui gagasannya, Locke ingin menciptakan masyarakat yang damai, aman, dan terlindungi dari tindakan intoleransi atau kekerasan atas nama agama. Ia menekankan pentingnya saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan, serta menjalankan toleransi dengan tanggung jawab penuh tanpa melanggar hukum atau mengancam stabilitas masyarakat. Dengan demikian, setiap individu dapat menjalankan keyakinan agamanya secara bebas, namun tetap menghormati hak-hak orang lain dan mematuhi hukum yang berlaku.
Gagasan Locke tentang toleransi beragama ini terus menjadi acuan penting dalam upaya mempromosikan kerukunan antar umat beragama dan penghormatan terhadap hak asasi manusia secara universal. Konsepnya mendorong terciptanya masyarakat yang pluralis, harmonis, dan menghargai keragaman keyakinan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab bersama.
Daftar Pustaka
- Antasari, R. R. (2014). Kebebasan Beragama Dalam Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Pandangan Tokoh Agama, Kademisi, dan Penggiat HAM di Kota Palembang). An-Nisa, 9(1), 47–70. http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/271
- Bakar, A., Sultan, U., & Riau, S. K. (2015). Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragama. 103.193.19.206, 7(2), 123–131. https://situswahab.wordpress.com
- Casram, C. (2016). Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 1(2), 187–198. https://doi.org/10.15575/jw.v1i2.588
- Doering, P. D. (2013). LIBERALISME Penyunting Detmar Doering. 97. https://rowlandpasaribu.files.wordpress.com/2013/09/detmar-doering-ed-liberalisme.pdf
- Fatmawati, F. (2016). Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia. Jurnal Konstitusi, 8(4), 489. https://doi.org/10.31078/jk844
- International Law Making. (2006). Dekiarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Indonesian Journal of International Law, Iii, 1–6. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
- John, L., Dan, L., Liberalisme, K., & Locke, J. (2021). 562397-Liberalisme-John-Locke-Dan-Pengaruhnya-D-Dc795760. 9(4), 485–491.
- Juhari. (2013). Muatan sosiologi dalam pemikiran filsafat john locke. Jurnal Al-Bayan, 19(27), 7–20.
- Karsa, K., Indah, S., Marseli, D., & Bazari, S. (2024). Pemikiran Hukum John Locke Dan Landasan Hak Asasi Manusia. Das Sollen: Jurnal Kajian Kontemporer Hukum Dan Masyarakat, 2(01), 1–19. https://doi.org/10.11111/dassollen.xxxxxxx
- Locke, J. (1689). A letter concerning toleration (John Locke, 1689). Primary documents in American history and contemporary issues. Constitutional debates on freedom of religion: A documentary history., 19–22.
- Marpuah, M. (2019). Toleransi Dan Interaksi Sosial Antar Pemeluk Agama Di Cigugur, Kuningan. Harmoni, 18(2), 51–72. https://doi.org/10.32488/harmoni.v18i2.309
- Mumtahar Kholil. (2021). Article 2 Kholil Mumtahar (1423301052). Doctoral dissertation, IAIN Purwokerto.
- Tebay, N. (2008). Kebebasan Beragama dalam Ajaran Paus Yohanes Paulus II. Studia Philosophica et Theologica, 8(2), 148–164. http://ejournal.stftws.ac.id/index.php/spet/article/view/166