Korupsi dalam Dunia Pendidikan, Antara Pungutan Sah dan Praktik Manipulatif

Opini Yolan Amanda Putri
Opini Yolan Amanda Putri

Korupsi merupakan penyakit sosial yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut World Bank pada tahun 2000, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Secara umum, korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang bertujuan memperkaya diri sendiri atau kelompok, dan berdampak merugikan pihak lain, termasuk negara.

Sayangnya, korupsi tidak hanya terjadi dalam urusan politik atau pemerintahan, melainkan juga telah menyusup ke dunia pendidikan—sebuah sektor yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa. Dunia pendidikan, yang diharapkan mampu membentuk karakter dan integritas generasi penerus, justru tidak luput dari praktik koruptif seperti pungutan liar, manipulasi anggaran, dan penyalahgunaan kewenangan.

Bacaan Lainnya

Pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk karakter antikorupsi sejak dini. Salah satu cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan mengintegrasikan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum, khususnya mulai dari tingkat sekolah dasar.

Melalui pendekatan ini, siswa dapat diperkenalkan pada nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kepedulian, kemandirian, tanggung jawab, dan kedisiplinan.

Namun, ironisnya, praktik-praktik tidak etis kerap kali terjadi justru dalam proses pendidikan itu sendiri. Salah satu bentuk korupsi yang sering ditemukan di lingkungan sekolah adalah pungutan liar. Menurut Moh.

Toha dalam buku yang dikutip oleh Aan Rukman dan Abdul Kholik (2022), pungutan liar adalah tindakan seorang pegawai negeri atau pejabat negara yang meminta sejumlah uang tanpa dasar hukum yang sah.

Dalam konteks pendidikan, pungutan semacam ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk, seperti pungutan saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), kegiatan study tour, biaya ekstrakurikuler, hingga sumbangan yang tidak memiliki dasar hukum.

Pungutan-pungutan ini, apabila tidak mengikuti aturan yang berlaku, sejatinya merupakan bentuk korupsi jabatan yang bertujuan menguntungkan pihak tertentu dengan cara yang tidak sah.

Namun demikian, tidak semua pungutan yang dilakukan sekolah dapat serta-merta dianggap sebagai tindakan korupsi. Penulis berpendapat bahwa penting untuk membedakan antara pungutan sah dan pungutan manipulatif.

Pungutan sah adalah pungutan yang memiliki dasar hukum dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, pungutan untuk pembayaran Iuran Pengembangan Pendidikan (IPP) yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Pendidikan.

Selain itu, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 12 huruf b juga memperjelas bahwa komite sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan, selama dilakukan secara sukarela dan berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua siswa. Dalam hal ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip penting agar tidak terjadi penyimpangan.

Sebaliknya, pungutan manipulatif adalah pungutan yang tidak memiliki dasar hukum, dilakukan secara sepihak, atau tidak disertai pertanggungjawaban yang jelas. Contohnya adalah pungutan untuk kegiatan sekolah yang tidak direncanakan secara matang, tidak melibatkan persetujuan orang tua, atau dilakukan dengan tekanan terselubung. Hal semacam ini sering terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan seperti study tour, acara perpisahan, atau biaya tambahan lainnya.

Agar praktik-praktik pungutan tidak berujung pada tindak korupsi, sekolah harus berkomitmen menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan. Pengawasan perlu dilakukan secara bersama-sama oleh pihak sekolah, komite sekolah, dan orang tua siswa.

Beberapa langkah konkret yang dapat ditempuh antara lain menyusun anggaran secara terbuka untuk setiap program tahunan, mengundang perwakilan orang tua dan masyarakat dalam pengambilan keputusan melalui komite sekolah, serta mempublikasikan laporan keuangan secara berkala.

Misalnya, dalam kegiatan perpisahan atau study tour, sekolah sebaiknya tidak mengambil keputusan sepihak. Sebaliknya, perlu diadakan pertemuan antara pihak sekolah dan orang tua siswa untuk membahas rencana kegiatan, termasuk rincian biaya, manfaat kegiatan, serta bentuk kontribusi yang diharapkan. Dengan demikian, orang tua tidak merasa terbebani secara finansial dan merasa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Transparansi anggaran seperti ini akan menciptakan hubungan yang sehat dan saling percaya antara pihak sekolah dan orang tua siswa. Jika kepercayaan ini terjaga, maka kolaborasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan akan lebih mudah terwujud tanpa harus mengorbankan integritas.

Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan menjauhkan anak-anak dari praktik tidak bermoral. Oleh karena itu, segala bentuk tindakan yang mengarah pada penyalahgunaan kewenangan harus dihentikan.

Pendidikan antikorupsi bukan sekadar materi ajar di kelas, melainkan harus tercermin dalam setiap aspek kehidupan sekolah, termasuk dalam pengelolaan keuangan dan kegiatan pembelajaran.

Pemberantasan korupsi dalam dunia pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita bersama: guru, orang tua, siswa, dan masyarakat. Melalui kolaborasi dan kesadaran bersama, kita dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang bersih, jujur, dan bermartabat demi masa depan generasi yang lebih baik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *