Manusia merupakan makhluk sosial yang menuntut adanya interaksi antara satu sama lain. Sebab itu, adalah normal ketika setiap orang berkeinginan agar kehadirannya dapat diterima di masyarakat [1]. Pola kehidupan masyarakat dalam menuntut hak dan kewajiban secara khusus bagi kaum perempuan seringkali mengalami situasi terpinggirkan. Maka untuk mengupayakan kehidupan yang seimbang dibutuhkan cara yang lebih besar menampilkan kekuatan kaum feminis di tengah kehidupan masyarakat. Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik, dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum [2].
Dalam feminisme, keterlibatan Fraser merupakan dialektika yang berjalan melalui tahapan-tahapan historis tertentu. Kritik Fraser memang tidak berlebihan. Terutama sejak dekade 1980-an, feminisme dihadapkan pada suatu dilema. Dilema ini menghadapkan tidak hanya feminisme, tetapi juga gerakan sosial lainnya pada dua tantangan sekaligus, yaitu penguatan politik identitas di satu sisi dan pelebaran ketimpangan sosial di sisi yang lain. Tentu saja perempuan adalah salah satu kelompok yang paling terdampak.
Dilema yang dihadapi oleh feminisme adalah akibat yang tidak terantisipasi dari perkembangan kapitalisme. Jarang disadari bahwa kritik feminisme terhadap praktik negara kesejahteraan yang bias gender di era kapitalisme yang dikelola negara, misalnya, justru menjadi legitimasi bagi kapitalisme neoliberal. Pokok ini yang mau diingatkan oleh Fraser. Menggunakan sebuah istilah “resignifikansi” yang digunakan oleh Judith Butler, dia memperlihatkan bagaimana kritik feminis dimanfaatkan ulang oleh kapitalisme dengan visi dan tujuan yang berbeda sama sekali [3].
Dalam literatur-literatur yang ada, istilah “feminisme kritis” sering disebut juga sebagai “teori feminisme kritis”. Pada dasarnya keduanya merujuk pada hal yang sama, yaitu suatu pendekatan yang mau mengangkat pengalaman perempuan ke ranah teoretis, tetapi tetap berbasis pada praksis perubahan sosial yang emansipatoris. Pertama, pada tataran politis, feminisme kritis bertujuan untuk mempromosikan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender adalah pokok keadilan di sebuah masyarakat. Kedua, pada tataran substantif, feminisme kritis menjadikan gender sebagai fokus dari analisis sosial.
Dalam kajian-kajian hukum yang ditelaah oleh Rhode, ia membangun ulang praktik-praktik legal yang selama ini mengeluarkan, merendahkan, dan mengabaikan perhatian perempuan. Ketiga, pada tataran metodologis, feminisme kritis berupaya menawarkan suatu kerangka yang beragam sebagai upaya menangkap pengalaman perempuan yang juga beragam. Tidak ada metodologi tunggal yang bisa diterapkan secara universal. Akan tetapi, terutama terkait dengan aspek metodologis, bukan berarti feminisme kritis menerima begitu saja relativisme kultural. Karena itu, secara teoretis, ia mempunyai problematik ketika ditautkan dengan posmodernisme, meski hingga tahap tertentu ia membutuhkannya terutama sebagai kerangka untuk menangkap dan memahami realitas masyarakat yang plural [4].
Meskipun telah ada kemajuan signifikan dalam perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender, yang masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Salah satu tantangan utama adalah adanya kesenjangan gender yang terus berlanjut dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk akses pendidikan politik, lapangan kerja,dan politik. Nancy Fraser yang berpendapat bahwa pengedaran barang material dan bukan material dan pengiktirafan identiti adalah dua dimensi keadilan sosial yang sama, bagaikan syiling dua muka.
Pendekatan “perspektival-dualis” Fraser terhadap keadilan tidak menganggap semua perjuangan pengiktirafan (seperti perjuangan etnik) sebagai perjuangan materialis untuk menguasai sumber semata-mata. Dengan kata lain, semua perjuangan untuk keadilan pengagihan hanyalah perjuangan untuk harga diri, maruah, dan lain-lain nilai yang bersifat “pribadi” [5]. Kesenjangan gender juga tercermin dalam ketidaksetaraan dalam pembagian pekerja rumah tangga dan perawatan yang masih banyak menimpa perempuan.
Selain itu, masih terdapat stereotip gender yang membatasi peran dan potensi individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Selain itu tantangan tersebut harapan untuk membangun masyarakat yang adil dan memerlukan upaya bersama dari semua pihak. Pendidikan yang adil dan berbasis kesetaraan gender dapat menjadi kunci utama untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat. Tantangan pertama yang di hadapi adalah ketidaksetaraan dalam akses terhadap pendidikan di banyak negara perempuan masih mengalami diskriminasi dalam akses dan kualitas pendidikan,sehingga menghambat kemampuan mereka untuk bersaing secara setara di dunia kerja.
Membongkar Patriarki dalam Kelompok Masyarakat
Pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeklarasikan Millenium Development Goals (MDGs) yang berisi delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Salah satu butir tujuannya adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, hal tersebut dengan tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu mencapai kesetaraan gender tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Pemberdayaan perempuan terutama dalam masalah ekonomi sangat diperlukan untuk pembangunan ekonomi, pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, paham patriarki diterapkan hampir di seluruh kebudayaan masyarakat dunia.
Hal ini mengakar sehingga menjadi sesuatu yang ajeg dan berterima bagi mereka. Masyarakat Timur Tengah, adalah contoh masyarakat yang sangat kuat menerapkan paham ini dalam kehidupan sosial mereka. Penerapan dasar patriarki yang lebih menekankan pada penafsiran secara dangkal sehingga menimbulkan persepsi yang menempatkan kaum laki-laki berada pada posisi yang lebih menguntungkan dari pada perempuan. Ketika patriarki dengan sangat sederhana dimaknai sebagai kekuasaan seorang laki-laki terhadap perempuan, maka bermunculan persepsi dan tindakan yang tidak menyenangkan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan. Hal ini muncul karena pemahaman ideologi patriarki yang tidak holistik [6].
Demikian kedudukan perempuan dalam realitanya selalu tak setara dibanding dengan laki-laki, derajat perempuan selalu lebih rendah. Dari aspek politik hingga masalah-masalah sehari-hari, seperti mendapat anak perempuan seringkali tidak sebahagia mendapat anak laki-laki pada kelahiran anak pertama [7]. Patriarki yang diterapkan dalam masyarakat selalu menempatkan laki-laki pada posisi yang superior sedangkan kaum perempuan pada posisi yang inferior. Lantas mau menunjukkan adanya kesenjangan gender yang terjadi.
Baca Juga: Problem Kesetaraan Gender Dalam Hukum Adat Indonesia Tinjauan Betty Friedan
Kesenjangan gender masih menjadi masalah yang cukup pelik. Kesenjangan ini bisa disebabkan antara lain pertimbangan prioritas bahwa nilai ekonomi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, karena laki-laki harus mencari nafkah sehingga harus dibekali pendidikan yang lebih baik dari pada perempuan [8]. Dari perspektif kemajemukan identitas ini, Nancy Fraser juga memaparkan makna keadilan sosial secara lewat pengakuan interseksional. Masalah pengakuan (recognition) memiliki sasaran ketidakadilan yang berada pada ranah budaya yang dianggap mengakar pada masalah yang bercorak sosial seperti masalah perwakilan (representation), penafsiran (interpretation), dan komunikasi (communication).
Upaya untuk mengatasi masalah ketidakadilan dalam pandangan ini adalah berupa penghormatan terhadap identitas dan produk budaya dari kelompok yang termarginalkan, termasuk juga usaha untuk mengakui perbedaan budaya yang ada. Gagasan ini memiliki konsep persamaan partisipasi (parity of participation). Berdasarkan konsep ini, keadilan –khususnya keadilan sosial– membutuhkan suatu pengaturan sosial yang memperbolehkan semua anggota masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain sebagai kelompok [9].
Maka, bias gender yang terjadi dalam sebuah budaya patriarkat di masyarakat kerap kali ditutupi oleh sebuah kenyataan bahwa masalah ini menjadi sebuah cerita besar yang menjadi fokus persoalan kemanusiaan sehingga diskriminasi, penindasan, dan pembungkaman kaum perempuan luput dari perhatian semua orang [10]. Oleh karena itu, sistem patriarki ini harus dibenahi agar tidak terjadi ketimpangan pada kaum perempuan.
Keadilan Gender Melalui Pengakuan Interseksional
Pada tempat pertama istilah interseksionalitas digagas oleh Kimberlé Crenshaw berdasarkan pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh perempuan-perempuan kulit hitam di hadapan badan hukum saat menggugat sebuah perusahaan yang melakukan diskriminasi ras dan gender pada tahun 1976 [11]. Hal ini memberi pemahaman bahwa dibutuhkan kepekaan terhadap kepada semua orang yang telah melakukan hal seperti ini. Namun dalam hal ini laki-laki merupakan harus kuat untuk menghadapi persoalan yang telah terjadi.
Konstruksi sosial tersebut menciptakan sebuah stereotip bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat dan pemberani. Sementara itu perempuan diidentikkan dengan sifat yang lemah lembut dan cantik. Dalam kehidupan sosial, perempuan terkonstruksi sebagai sebuah subordinat sehingga membangun stigma bahwa perempuan adalah sosok yang lebih lemah dan memiliki posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki [12]. Jadi pendekatan ini tidak hanya memakai satu lensa patriarki untuk membongkar relasi kuasa yang tidak setara yang terjadi dalam pengasuhan sang ibu sebagaimana yang dilakukan feminisme radikal. Kategori ibu dalam pendekatan feminis interseksional mencerminkan relasi kuasa dalam masyarakat yakni mencakup hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, antara kelompok ras dominan dan subordinat, antara penjajah dan terjajah [13].
Sejarah manusia telah diwarnai dengan ketidaksetaraan gender yang meliputi berbagai bidang. Meskipun banyak kemajuan telah di capai dalam beberapa dekade terakhir, masih banyak tantangan yang harus dihadapi dalam mencapai kesetaraan gender secara menyeluruh. Diskriminasi gender masih terjadi di banyak negara, baik secara terang-terangan maupun terselubung yang menghambat akses perempuan terhadap pendidikan, pekerjaan, dan keputusan politik. Kedua, streotip gender yang di pertahankan oleh budaya dan masyarakat juga menjadi hambatan dalam upaya mencapai kesetaraan gender.
Baca Juga: Akar Psikologis KDRT: Analisis Melalui Teori Kriminalitas Sigmund Freud
Ketiga, perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan masih menjadi masalah serius yang memperkuat ketidaksetaraan ekonomi antara kedua jenis kelamin. Dalam kekerasan gender juga menjadi tantangan besar dalam perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang adil. Tantangan dan harapan dalam membangun keadilan gender melalui pengakuan interseksional dalam perspektif Nancy Fraser adalah pentingnya memahami bahwa kesetaraan gender masih menjadi isu yang relevan dan mendesak dalam konteks global saat ini. Meskipun telah ada kemajuan signifikan dalam perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender, yang masih banyak tantangan yang perlu diatasi.
Salah satu tantangan utama adalah adanya kesenjangan gender yang terus berlanjut dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, lapangan kerja, dan politik. Kesenjangan gender juga cermin dalam ketidaksetaraan dalam pembagian pekerja rumah tangga dan perawatan yang masih banyak menimpa perempuan. Selain itu masih terdapat stereotip gender yang membatasi peran dan potensi individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Selain itu tantangan tersebut harapan untuk membangun keadilan yang gender melalui pengakuan interseksional untuk memerlukan upaya bersama dari semua pihak. Pendidikan yang adil dan berbasis kesetaraan gender dapat menjadi kunci utama untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat.
Kesimpulan
Judul “Membongkar Patriarki: Membangun Keadilan Gender Melalui Pengakuan Interseksional Dalam Perspektif Nansy Fraser” merangkum pembahasan tentang ketidaksetaraan gender, penindasan patriarki, dan konsep pengakuan interseksional, dengan menggunakan pandangan teori sosial yang dikembangkan oleh Nansy Fraser. Pembongkaran patriarki adalah upaya untuk mengkritisi dan mengungkap struktur sosial yang memberikan dominasi kepada laki-laki.
Ini bertujuan untuk memahami dan memerangi ketidaksetaraan gender yang merupakan akar dari berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan dan individu LGBT+. Langkah ini diikuti dengan upaya membangun keadilan gender yang merata bagi semua individu, tanpa memandang gender, identitas, atau orientasi seksual mereka. Pengakuan interseksional, sebagai bagian dari pendekatan ini, menyoroti kompleksitas identitas dan pengalaman individu yang terbentuk oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik.
Baca Juga: Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Kesetaraan Gender Di Indonesia Menurut Perspektif Betty Friedan
Pendekatan ini memperhatikan bahwa penindasan tidak dapat dipahami secara terpisah satu sama lain, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari sistem yang lebih besar. Perspektif Nansy Fraser membawa analisis kritis terhadap struktur kekuasaan, menggabungkan dimensi ekonomi, politik, dan sosial dari ketidaksetaraan gender, serta menekankan pentingnya pengakuan sebagai elemen sentral dalam perjuangan menuju keadilan sosial. Secara keseluruhan, judul ini mencerminkan upaya untuk memahami, mengkritisi, dan merumuskan solusi terhadap ketidaksetaraan gender, dengan memperhatikan kompleksitas hubungan antara berbagai bentuk penindasan sosial dan kekuasaan.
Daftar Pustaka
[1] Ahmand Zaki dan Diyan Yusri, “Mitos Kecantikan Dalam Iklan (Studi Analisis Dengan Pendekatan Filsafat Kritis),” Jurnal Ilmu Pendidikan 7, no. 2 (2020): 809–820.
[2] Siti Dana Retnani, “Feminisme Dalam Perkembangan Aliran Pemikiran Dan Hukum Di Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA 1, no. 1 (2017): 95–109.
[3] Fransiskus Sule, “Jurnal Ledalero,” Jurnal Ledalero 20, no. 1 (2021): 101–115, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=2368531&val=10489&title=FUNDAMENTALISME RADIKAL DALAM PEMIKIRAN DAN GERAKAN POLITIK KEAGAMAAN DI INDONESIA STUDI KASUS PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA HTI.
[4] Amin Mudzakkir, “Feminisme Kritis: Kritik Kapitalisme Nancy Fraser Dan Relevansinya Bagi Indonesia” (2021): 1–242.
[5] Sidang Redaksi et al., “06 Feb” (n.d.): 1–3.
[6] Essy Syam and Qori Islami Aris, “Menyingkap Ideologi Patriarki Dalam Kisah 1001 Malam: Kajian Dekonstruktif,” Jurnal Ilmu Budaya 17, no. 2 (2021): 89–102.
[7] Eko Mukminto, “Hukum, Ideologi Patriarki, Dan Kekerasan Sistematik Atas Perempuan—Suatu Kajian Žižekian,” Nurani Hukum 3, no. 1 (2020): 1.
[8] Reky Oktavian Fikri and Agustina Suparyati, “Pengaruh Pendidikan, Kesehatan Dan Gender Terhadap Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur,” Media Ekonomi 25, no. 1 (2017): 43–56.
[9] “ACCESS REFORM DALAM KERANGKA REFORMA AGRARIA UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN SOSIAL Muhammad Ilham Arisaputra 1,” no. 3 (n.d.): 1–36.
[10] Priskardus Hermanto Candra, “Kritik Feminisme Postkolonial Untuk Membongkar Kultur Patriarki Dalam Budaya Manggarai,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio 11, no. 1 (2019): 107–116.
[11] Melinda Siahaan et al., “Cinta, Keperawanan, Dan Rasa Malu,” Indonesian Journal of Theology 11, no. 1 (2023): 109–137.
[12] Ferrari Lancia, Liliyana, and Abdul Azis, “K-Beauty Dan Standar Kecantikan Di Indonesia (Analisis Wacana Sara Mills Pada Kanal YouTube Priscilla Lee),” Jurnal Multidisiplin West Science 2, no. 1 (2023): 56–68.
[13] “ibid”