Kasus yang melibatkan Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, menyoroti kompleksitas hukum dan sosial dalam era digital. Roy Suryo divonis sembilan bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas kasus unggahan meme stupa Borobudur yang diedit menyerupai wajah Presiden Joko Widodo. Ia dibebaskan dari tuntutan membayar denda, namun dinyatakan bersalah karena menyebarkan informasi yang bertujuan menyebarkan kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Masalah kasus ini bermula ketika Roy Suryo mengunggah ulang meme yang menggambarkan stupa Candi Borobudur dengan wajah mirip Presiden Jokowi. Tindakan ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan pihak berwenang, yang menganggap bahwa unggahan tersebut berpotensi merusak kerukunan sosial dan agama. Roy Suryo mengklaim bahwa ia hanya mengunggah ulang meme tersebut dan bukan pencipta asli konten tersebut.
Meskipun demikian, polisi melanjutkan proses hukum, dan Roy Suryo ditahan jelang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan yang dijatuhkan oleh hakim Martin Ginting menyatakan bahwa Roy Suryo terbukti bersalah melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 A UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Hukuman penjara selama sembilan bulan lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang ingin Roy dihukum dengan pidana 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Hakim mempertimbangkan keadaan memberatkan dan meringankan dalam kasus ini, termasuk potensi rusaknya kerukunan sosial dan perilaku kooperatif Roy selama persidangan.
Pendekatan Fazlur Rahman dengan teori Double Movement melibatkan dua langkah utama: pemahaman kontekstual terhadap teks dan penerapannya dalam situasi kontemporer. Pendekatan ini sangat relevan dalam menganalisis kasus Roy Suryo untuk menilai bagaimana prinsip-prinsip hukum dapat diterapkan secara adil dan relevan dalam konteks modern.
Langkah Pertama: Pemahaman Kontekstual terhadap UU ITE, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dirancang untuk mengatur aktivitas digital dan menangani penyalahgunaan teknologi informasi. Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 A UU No. 19 Tahun 2016 menekankan pentingnya mencegah penyebaran informasi yang mengandung kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
UU ITE lahir dari kebutuhan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif penggunaan internet yang dapat merusak kerukunan sosial. Prinsip-Prinsip inti dari UU ITE adalah menjaga kerukunan sosial, melindungi hak-hak semua komunitas beragama, dan mencegah konflik yang dapat merusak kohesi sosial. UU ini mencerminkan komitmen negara untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak digunakan untuk menyebarkan kebencian atau permusuhan yang dapat mengganggu harmoni sosial.
Langkah Kedua: Aplikasi Kontekstual dalam Kasus Roy Suryo, Roy Suryo mengunggah ulang meme stupa Borobudur yang diedit menyerupai wajah Presiden Joko Widodo, yang kemudian menjadi viral dan memicu reaksi negatif dari masyarakat. Dalam konteks media sosial, tindakan ini dianggap sebagai penyebaran informasi yang dapat memicu kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Meskipun Roy mengklaim hanya mengunggah ulang, dampaknya tetap signifikan dalam mempengaruhi persepsi publik dan kerukunan sosial. Majelis hakim memvonis Roy Suryo dengan hukuman sembilan bulan penjara, lebih ringan dari tuntutan jaksa. Putusan ini menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan antara penegakan hukum yang ketat dan pertimbangan aspek-aspek meringankan seperti kerja sama Roy selama proses hukum dan rekam jejaknya yang bersih.
Kebebasan Beragama: Meme yang diedit menyerupai stupa Borobudur berpotensi menyinggung umat Buddha, yang menunjukkan pentingnya menghormati simbol-simbol keagamaan dalam kebebasan berekspresi. Tindakan hukum terhadap Roy Suryo bertujuan untuk melindungi hak-hak komunitas beragama dari penghinaan atau pelecehan, sejalan dengan prinsip kebebasan beragama.
Keadilan: Hukuman sembilan bulan penjara menunjukkan upaya untuk memberikan sanksi yang proporsional dengan mempertimbangkan keadaan meringankan dan memberatkan. Menyatakan bahwa meskipun tindakan Roy tidak sepenuhnya disengaja menyebarkan kebencian, dampaknya tetap serius dan memerlukan respon hukum yang adil.
Toleransi: Kasus ini menekankan pentingnya toleransi dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Putusan hukum ini berfungsi sebagai pengingat bagi masyarakat tentang tanggung jawab sosial dalam menggunakan media sosial untuk menjaga kerukunan dan toleransi.
Pendekatan Fazlur Rahman terhadap kasus Roy Suryo menekankan pentingnya memahami prinsip-prinsip inti dari teks hukum dalam konteks sejarah dan menerapkannya secara adil dan relevan dalam konteks sosial dan hukum kontemporer. Dengan menekankan kebebasan beragama, keadilan, dan toleransi, pendekatan ini membantu menciptakan solusi yang inklusif dan menghormati hak-hak semua komunitas beragama.
Kasus Roy Suryo menunjukkan bahwa meskipun kebebasan berekspresi adalah hak yang penting, tanggung jawab sosial dalam penggunaan media sosial harus dijaga untuk mencegah konflik dan menjaga kerukunan sosial. Melalui penerapan prinsip-prinsip inti ini, hukum dapat ditegakkan dengan cara yang adil dan relevan, mencerminkan nilai-nilai inklusivitas dan toleransi yang esensial dalam masyarakat pluralistik.
Baca Juga: Menjembatani Perbedaan: Pandangan Fazlur Rahman Tentang Komunikasi Keluarga Lintas Agama
Dengan analisis ini, kita dapat memahami bahwa keputusan hukum dalam kasus Roy Suryo tidak hanya didasarkan pada teks hukum semata, tetapi juga pada konteks sosial dan budaya yang lebih luas. UU ITE sebagai landasan hukum dirancang untuk mencegah penyebaran informasi yang dapat memicu konflik dan menjaga kerukunan sosial. Pendekatan kontekstual Fazlur Rahman menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip inti dari hukum dapat diterapkan secara relevan dalam situasi kontemporer, menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.