Ponorogo adalah sebuah kota kecil di Jawa Timur bagian barat yang masih terus melestarikan kebudayaan lokal disamping juga terus mempertahankan tradisi keagamaan Islam. Kaitannya dengan pelestarian kebudayaan lokal dan tradisi keagamaan Islam tersebut, setiap tahunnya Ponorogo menggelar perayaan besar bertajuk “Grebeg Suro” yang diadakan untuk menyongsong peringatan Tahun Baru Islam (Hijriyah).
Perayaan tersebut tidak hanya sebagai sarana hiburan semata tetapi juga sebagai cerminan perpaduan harmonisasi budaya lokal Ponorogo dengan ajaran Islam yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat. Perayaan Grebeg Suro Ponorogo digelar dengan beberapa rangkaian acara yang tentunya sarat akan nilai keislaman dan kebudayaan maupun kesenian lokal Ponorogo dengan salah satu tujuannya yaitu untuk menarik wisatawan lokal baik dari Ponorogo, luar Ponorogo, bahkan mancanegara.
Unsur Kebudayan Lokal Ponorogo
Ponorogo sendiri merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak sekali budaya yang berkembang dan dilestarikan. Perayaan Grebeg Suro merupakan kebudayaan lokal Ponorogo yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan tradisi masyarakat setempat dengan ciri khasnya. Grebeg Suro merupakan tradisi yang sudah dilakukan oleh masyarakat Ponorogo secara turun-temurun sejak lama.
Tradisi tersebut juga sebagai lambang kehormatan, kemakmuran, kesucian atau kebersihan, sekaligus sebagai identitas dan kebanggaan masyarakat Ponorogo dengan budaya lokal. Mayoritas masyarakat meyakini jika tradisi perayaan Grebeg Suro dapat menjadi tolak bala jika diadakan secara rutin dan sakral.
Salah satu hal yang menjadi daya tarik masyarakat pada momen Grebeg Suro ini yaitu berbagai macam budaya dan kesenian lokal yang digelar dalam acara tersebut. Acara tersebut dikemas dalam serangkaian acara yang dilaksanakan kurang lebih selama satu bulan lamanya.
Diantara acara spektakuler dan sangat dinantikan masyarakat yaitu pagelaran Reog Ponorogo yang juga dikemas menjadi dua kategori yaitu Festival Reog Remaja dan Festival Nasional Reog Ponorogo yang ke-29. Dalam gelaran Festival Reog tersebut tidak hanya sebagai pertunjukan biasa tetapi mengandung makna historis tersendiri mengenai sejarahnya yang harus dilestarikan.
Tidak hanya Festival Reog, acara lain yang cukup menarik yaitu Prosesi Bedol Pusaka Ponorogo dan Kirab Pusaka. Prosesi Bedol Pusaka biasanya diadakan satu hari sebelum malam 1 Suro yang dimulai dengan mengarak tiga pusaka Kabupaten Ponorogo yaitu Tombak Kyai Tunggul Naga, Angkin Cinde Puspita, dan Payung Kyai Tunggul Wulung dari Pringgitan (rumah dinas Bupati Ponorogo) ke area Makam Batoro Katong (Bupati Pertama Ponorogo) secara sakral yang dikawal oleh bergada yang berjalan sekitar 5 km tanpa alas kaki.
Bedol pusaka ini juga sebagai simbol perpindahan pemerintahan Ponorogo yang dahulu berada di Kota Lama (Kelurahan Setono). Setelah acara Bedol Pusaka, keesokan harinya pada sore hari diadakan Kirab Pusaka dengan tujuan untuk membawa kembali ketiga pusaka ke Kota Baru sebagai simbol pusat pemerintahan Ponorogo yang baru yaitu dari Makam Batoro Katong ke Paseban Aloon-Aloon Ponorogo untuk dimandikan (jamas) dan kemudian disimpan kembali.
Selanjutnya acara tersebut diikuti dengan arak-arakan pejabat daerah Ponorogo. Pagi hari tanggal 1 Suro kemudian diadakan Larungan Sesaji (Larung Risalah Do’a) di Telaga Ngebel sebagai perwujudan syukur kepada tuhan atas segala rahmat yang diberikan.
Integrasi Nilai-Nilai Islam
Walaupun Perayaan Grebeg Suro sangat kental dengan unsur-unsur kebudayaan, tetapi nilai-nilai Islam juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari acara tersebut. Grebeg Suro merupakan perayaan besar bagi umat muslim di Ponorogo dalam memperingati Tahun Baru Islam.
Tidak hanya berkaitan dengan ritual-ritual pelestarian kebudayaan saja, tetapi Grebeg Suro juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri dan mengungkapakan rasa syukur kepada Allah SWT agar selalu diberi kesehatan, keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat nanti.
Dalam perayaan Grebeg Suro di Ponorogo, nilai-nilai Islam memiliki peran yang tidak terpisahkan dan cukup signifikan yang dicerminkan dalam acara tersebut. Nilai tersebut dicerminkan dalam beberapa hal yaitu: Pertama, menekankan kebersihan dan kesucian baik secara fisik maupun spiritual. Kedua, memperkokoh ketaatan atau mendekatkan diri kepada Allah yang selanjutnya dikemas dalam acara Istighosah & Do’a Bersama, Halaqoh & Simaan Al-Qur’an, dan Ziarah Makam Sesepuh Ponorogo.
Ketiga, tradisi bersedekah kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai bagian dari kegiatan sosial dan keagamaan sebagai cerminan kepedulian sosial yang diajarkan dalam Islam. Keempat, memperkuat kerukunan antarumat beragama meskipun kental dengan kebudayaan Jawa tetapi sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.
Harmoni Budaya Lokal dan Keislaman
Grebeg Suro merupakan wujud nyata dari upaya pelestarian budaya lokal dan nilai-nilai keslaman. Melalui tradisi perayaan tersebut, generasi muda diajak untuk menghargai dan mempertahankan warisan budaya nenek moyang yang sudah turun-temurun, sekaligus memperkuat identitas keislaman mereka dalam bingkai budaya yang luas.
Baca Juga: Tradisi Endog-Endogan di Banyuwangi: Mengenal Salah Satu Budaya NU yang Menarik Ketika Maulid
Perayaan Grebeg Suro juga menjadi contoh bahwa masyarakat Ponorogo mampu hidup berdampingan dengan toleran meskipun memiliki beragam keyakinan dan tradisi, serta mampu menjaga keharmonisan dengan menghormati satu sama lain.
Grebeg Suro Ponorogo tidak hanya sekadar perayaan tradisional setiap tahun, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan bagi masyarakat dalam keberadaan dan pentingnya budaya lokal dalam konteks global. Selain itu, Grebeg Suro juga sebagai sebuah perayaan keberagaman, keharmonisan, dan kebanggaan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Simak berita terbaru kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Krajan.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaAD5sdDOQIbeQkBct03
Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.