Di agama apapun pada kepercayaan manapun perempuan menempati posisi buruk?
Nabi SAW berkata : “yang baik diantaramu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap isterinya”
****
Bagi rumpun agama langit : Yahudi, Kristen dan Islam memiliki kemiripan, perempuan adalah sumber petaka, menjadi sebab diturunkannya Adam dari surga karena dosa waris. Bahkan juga masih banyak kisah turunan lainnya yang serupa.
Bagi Hindhu perempuan di posisikan pada kasta rendah tak punya hak suara dan waris sebab itu ia harus ikut dibakar saat suaminya mati. Perempuan selalu dalam posisi kalah dan tidak dihitung.
Agama-agama dan kepercayaan kuno kurang lebih juga serupa: Zoroaster, Shinto, dan kepercayaan Mesir kuno, Romawi dan Yunani, juga demikian perempuan tak pernah menepati posisi baik.
****
Di negara-negara Islam konvensional misalnya, perempuan masih berjuang untuk mendapatkan hak pendidikan sama, bekerja keras untuk mendapat surat izin mengemudi dan pergi ke pasar tanpa pengawalan muhrim atau bisa keluar rumah tanpa batas waktu. Meski umul mu’minin Sayidah Aisyah ra telah memberi tanda simbolik dengan menarik tali kekang onta memimpin melawan penindasan kaum maskulin.
Dalam perspektif manhaj tertentu, memandang perempuan adalah sebuah dosa sebab itu ia harus ditutup rapat atau dipingit tak boleh keluar kamar apalagi ngemall dan ke pasar belanja keperluan dapur.
Gerakan emansipasi perempuan juga belum sepenuhnya efektif, berbagai persoalan yang membekap malah berbalik mengunci kebebasan perempuan. Ada warna gerakan yang sulit ditelisik ketika gerakan mengatas namakan perempuan justru berbalik menjadi gerakan perempuan yang diingini laki-laki. Lahir cluster-cluster eksploitasi perempuan atas nama iman. Suburnya kelas-kelas poligami yang miskin akhlaq karena pemenuhan quota laki-laki 1 berbanding 4 perempuan.
****
Aktifis perempuan muslimah, Prof Ameena Waddud juga tak kalah gigih meski dilawan puluhan ribu lelaki yang terusik bahkan oleh kaumnya sendiri. Sebab ternyata ada juga perempuan yang merelakan dirinya ‘dijajah’ kaum lelaki atas nama iman. Dalam konsep Jawa: perempuan sebagai ‘konco wingking’ juga belum signifikan berubah bahkan cenderung menguat dalam bentuk lain yang lebih modern.
Sebab perempuan adalah soal yang sangat beda bahkan deskriminasi perempuan juga dikakukan oleh sesama perempuan sendiri tanpa kata tapi: soal poligami, hijab, waris, kebebasan berkumpul dan berpendapat menjadi urgent karena diantara perempuan juga saling mentahdzir.
Pengguna hijab akan mentahdzir perempuan yang tidak berhijab sebagai perempuan kafer, meski sesama pengguna hijab juga tak kalah garang dengan pemakai hijab tapi ‘telanjang’. Perempuan pun kian terpuruk karena petak-petak kecil yang fanatik. Sebab realitas perempuan bukan saja ingin bebas dari cengkeram lelaki tapi juga dari tahdzir kaumnya.
****
Lantas bagaimana Islam dan realitas umat memperlakukan perempuan dua hal berbeda meski terlihat mirip sama. Sebab saya tak pernah yakin dengan ajaran Islam yang mulia dan indah ini, bisa dipahamkan sama dengan realitas umat sebagai ‘pengguna ajaran’ bukankah sering kerap berbalik dari yang seharusnya ?