Sanksi Adat sebagai Alat Kontrol Sosial terhadap Perzinaan di Kabupaten Padang Lawas Utara

Ilustrasi foto/metro-online.co
Ilustrasi foto/metro-online.co

Perzinaan selalu menjadi topik yang sensitif di tengah masyarakat, terlebih di wilayah-wilayah yang masih menjunjung tinggi nilai adat dan norma agama. Di tengah modernisasi yang terus merambah ke pelosok negeri, Kabupaten Padang Lawas Utara menjadi salah satu daerah yang tetap memegang teguh warisan leluhur dalam mengatur tata kehidupan sosial.

Di wilayah ini, hukum adat bukan sekadar aturan masa lalu yang dilestarikan, melainkan tetap dijalankan sebagai sistem kontrol sosial yang hidup dan efektif.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks ini, perzinaan tidak hanya dipandang sebagai pelanggaran moral, melainkan juga sebagai ancaman terhadap keharmonisan sosial dan martabat keluarga. Masyarakat Padang Lawas Utara percaya bahwa sanksi adat mampu menimbulkan efek jera serta mengembalikan keseimbangan yang rusak akibat perilaku menyimpang tersebut. Maka tak heran, ketika terjadi pelanggaran, penyelesaiannya sering kali tidak langsung dibawa ke ranah hukum negara, melainkan terlebih dahulu ditangani melalui mekanisme adat.

Penyelesaian berbasis adat menitikberatkan pada musyawarah dan keterlibatan kolektif seluruh elemen masyarakat. Pendekatan ini dinilai lebih manusiawi dan mendalam karena mempertimbangkan harmoni sosial serta rasa malu sebagai bentuk hukuman moral yang kuat.

Dalam praktiknya, sanksi adat terhadap pelaku perzinaan di Padang Lawas Utara terbagi ke dalam beberapa bentuk, disesuaikan dengan tingkat kesalahan serta respons pelaku terhadap putusan adat.

Salah satu sanksi paling dikenal adalah Sappal Dilla, yaitu hukuman yang mengharuskan pelaku memotong hewan tertentu sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan. Hewan tersebut disebut pulungan adat atau syarat adat, yang jenisnya disesuaikan dengan beratnya pelanggaran.

Untuk kesalahan ringan, seperti berduaan dengan lawan jenis bukan pasangan sah setelah pukul sepuluh malam, pelaku diwajibkan memotong ayam. Untuk kesalahan menengah seperti perzinaan, pelaku dihukum dengan memotong kambing. Sedangkan untuk pelanggaran berat seperti pembunuhan, pelaku harus memotong kerbau.

Daging hasil sembelihan itu lalu dimasak dan disajikan dalam sebuah perjamuan adat, disertai daun sirih sebagai simbol pemurnian. Makanan tersebut dibagikan kepada warga kampung, termasuk kepada Harajoan (pemerintahan adat), Hatobangan (tokoh adat), ulama, dan masyarakat luas sebagai bentuk permintaan maaf dari pelaku. Proses ini menjadi momen refleksi kolektif dan pemulihan nilai-nilai sosial yang sempat terganggu.

Penetapan jenis sanksi dilakukan setelah melalui musyawarah bersama para tokoh adat. Pelaku akan diinterogasi secara terbuka, lalu diumumkan hasilnya di hadapan masyarakat. Jika pelaku menunjukkan penyesalan dan bersedia menjalani sanksi, maka proses pengampunan berjalan dengan lancar. Namun, apabila pelaku membangkang atau tidak menunjukkan itikad baik, maka sanksi lanjutan diberlakukan.

Sanksi berikutnya dikenal sebagai dibondarkon, yaitu pengasingan atau pengucilan dari kehidupan sosial masyarakat adat. Pelaku yang dijatuhi hukuman ini dilarang mengikuti segala kegiatan sosial, baik acara bahagia seperti pesta pernikahan atau syukuran, maupun acara duka seperti kematian atau musibah.

Dalam pandangan masyarakat, individu tersebut seolah telah dikeluarkan dari ikatan sosial kampung. Pengucilan ini memberi tekanan sosial yang besar, sehingga pelaku biasanya tidak mampu bertahan lama dalam kondisi tersebut.

Bila pelaku kemudian menyadari kesalahannya dan kembali untuk meminta maaf kepada Hatobangan dan para pemimpin adat, maka ia diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Proses permintaan maaf ini juga melibatkan perjamuan bersama yang diadakan oleh pelaku dengan menyembelih kambing sebagai bentuk penyesalan.

Namun, jika pelaku tetap membangkang, bahkan mencoba menghasut masyarakat untuk tidak mematuhi hukum adat, maka dijatuhkan sanksi paling berat, yakni Dipaorot Sian Huta, atau pengusiran dari kampung.

Dalam kasus ini, pelaku diwajibkan meninggalkan kampung dan tidak diizinkan lagi untuk tinggal di wilayah tersebut. Sanksi ini dijatuhkan setelah semua upaya persuasif dan sanksi sosial sebelumnya tidak membuahkan hasil.

Meski terkesan keras, masyarakat adat Padang Lawas Utara memandang bahwa sanksi ini penting demi menjaga tatanan sosial yang telah dibangun secara turun-temurun. Menariknya, jika pelaku menunjukkan kesungguhan untuk berubah dan kembali memohon maaf dengan itikad baik, masyarakat akan membuka pintu maaf. Proses reintegrasi ini menjadi bukti bahwa hukum adat tidak semata-mata bersifat menghukum, tetapi juga memberi ruang bagi pemulihan dan transformasi sosial.

Di tengah tantangan zaman, keberadaan hukum adat dalam menangani kasus perzinaan tidak serta-merta bebas dari persoalan. Salah satu tantangan terbesarnya adalah benturan dengan hukum nasional. Dalam KUHP, misalnya, perzinaan baru dapat diproses jika terdapat aduan dari pasangan sah.

Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum adat yang dapat langsung bertindak tanpa perlu adanya laporan. Perbedaan ini mencerminkan dua cara pandang hukum yang berbeda: hukum negara yang cenderung formal dan berbasis individu, serta hukum adat yang berbasis komunitas dan musyawarah.

Selain itu, generasi muda di daerah tersebut mulai mempertanyakan relevansi dan keadilan sanksi adat di era modern. Paparan terhadap hukum positif, pendidikan formal, serta media digital menyebabkan munculnya perspektif baru yang lebih kritis terhadap praktik adat, termasuk sanksi sosial terhadap perzinaan.

Namun demikian, hukum adat di Padang Lawas Utara tetap memiliki legitimasi kuat karena didukung oleh nilai-nilai lokal dan penerimaan masyarakat. Selama hukum adat masih diyakini dan dihormati oleh komunitas adat, ia akan tetap menjadi alat yang efektif untuk menjaga harmoni sosial dan moralitas kolektif.

Kesimpulannya, sanksi adat terhadap perzinaan di Padang Lawas Utara mencerminkan kearifan lokal dalam menyelesaikan masalah sosial. Ia tidak hanya berfungsi sebagai instrumen penegakan hukum, tetapi juga sebagai mekanisme pendidikan moral dan penguatan identitas budaya.

Di tengah perubahan zaman yang cepat, keberlanjutan sistem ini sangat bergantung pada kemampuan masyarakat adat untuk mempertahankan nilai-nilai leluhur tanpa kehilangan relevansi di era modern.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *