Angka kemiskinan yang tinggi di Indonesia menimbulkan berbagai persoalan dalam masyarakat. Perkembangan Globalisasi yang pesat juga sering kali membuat pemerintah lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, sementara kepentingan lainnya seperti kemanusiaan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat cenderung diabaikan.
Dalam hal ini, penting untuk melakukan peningkatan kualitas manusia melalui partisipasi aktif masyarakat dan pemerintah dalam proses pembangunan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat diperlukan untuk membangun kemandirian masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu strategi pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam proses pembangunan.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menyampaikan bahwa pemberdayaan masyarakat desa perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan desa yang mandiri.
“Dalam rangka mewujudkan masyarakat desa yang sejahtera dan desa yang mandiri perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Kemendes PDTT Luthfiyah Nurlaela di Jakarta, Senin.
Mulai dari tahun 2007, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang antara lain terdiri dari PNPM Mandiri Perdesaan (PNPMMP) yang merupakan program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan.
Namun, dari beberapa pendekatan yang dilakukan penurunan angka kemiskinan belum turun secara signifikan. Bahkan kadang masih fluktuatif. Oleh karena itu, harus dicari akar masalah dan program yang relevan serta pendekatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan.
Pemberdayaan masyarakat didefinisikan sebagai proses meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menentukan arah hidup mereka, baik melalui akses terhadap pendidikan, ekonomi, kesehatan, maupun politik. Menurut Bank Dunia, pemberdayaan bertujuan untuk menciptakan peluang bagi kelompok marginal agar mereka memiliki kendali atas sumber daya dan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Salah satu pendekatan yang efektif untuk mencapai pemberdayaan adalah pendekatan sosiokultural. Pendekatan ini memanfaatkan potensi budaya, tradisi, dan norma sosial yang ada di masyarakat sebagai modal utama untuk memobilisasi perubahan positif.
Pentingnya pendekatan ini semakin nyata dalam konteks pembangunan berkelanjutan, di mana setiap individu dan komunitas diharapkan mampu berkontribusi tanpa kehilangan identitas budaya mereka. Pendekatan sosiokultural menempatkan budaya, tradisi, dan norma sosial sebagai inti dari proses pemberdayaan.
Pendekatan ini memiliki keunggulan karena mampu menjangkau masyarakat dari level yang paling dasar, yakni pola pikir, nilai, dan cara hidup mereka. Pendekatan sosiokultural juga mengintegrasikan dimensi sosial dan budaya dalam berbagai program pembangunan, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dari pembangunan. Dalam konteks Indonesia, yang memiliki keragaman budaya, tradisi, dan bahasa, pendekatan ini menjadi sangat relevan.
Selain itu, Pendekatan sosiokultural menekankan pentingnya memahami konteks budaya dan sosial masyarakat sebelum merancang dan melaksanakan program pemberdayaan. Pendekatan ini mengacu pada penggunaan nilai, tradisi, adat istiadat, dan struktur sosial yang ada untuk memotivasi dan mendukung masyarakat dalam mengatasi tantangan yang dihadapi.
Survei yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 72% masyarakat yang merasa tradisi dan adat mereka dihormati dalam program pemberdayaan lebih cenderung aktif berpartisipasi dibandingkan mereka yang tidak merasa demikian.
Kearifan Lokal dalam pemberdayaan juga berperan mempengaruhi pengelolaan lingkungan. Hal ini berdasarkan studi oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa masyarakat adat yang menggunakan pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan, Mulai dari sasi laut di Maluku, memiliki hasil yang lebih baik dalam menjaga biodiversitas dan keberlanjutan sumber daya alam dibandingkan dengan pendekatan modern yang tidak melibatkan budaya setempat.
Pentingnya Pendekatan Sosiokultural
Budaya sebagai Modal Sosial
Di tengah arus globalisasi, pemerintah cenderung mengabaikan budaya dalam menjalankan kebijakan. Tidak jarang program-program menghilangkan identitas masyarakat. Namun, Tradisi lokal sering kali menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan solusi terhadap berbagai masalah.
Misalnya, tradisi gotong royong di Indonesia telah lama menjadi praktik sosial yang memperkuat solidaritas dan kerja sama dalam berbagai kegiatan masyarakat. Menurut data BPS (2022), sekitar 73% desa di Indonesia masih secara aktif menerapkan prinsip gotong royong dalam kegiatan pembangunan infrastruktur.
Menghormati Kearifan Lokal
Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa dan 700 bahasa daerah. Kearifan lokal yang dimiliki setiap komunitas menjadi aset penting dalam pemberdayaan. Contoh nyata pengelolaan hutan berbasis adat oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal.
Baca Juga: Dari Dapur ke TPA: Jejak Sampah Mengguncang Dunia
Kearifan lokal juga dioptimalkan untuk mengatasi masalah lokal masyarakat. Misalnya, di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat memanfaatkan teknologi tradisional sasi untuk mengatur pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Dalam hal ini, Pendekatan Sosiokultural tidak hanya melestarikan lingkungan tetapi juga meningkatkan ekonomi masyarakat melalui hasil tangkapan laut yang lebih berkualitas.
Menghormati Norma dan Nilai Sosial
Pendekatan sosiokultural menekankan pada nilai-nilai dan norma yang sudah ada di masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan program pemberdayaan diterima oleh masyarakat tanpa adanya resistensi. Misalnya, penerapan program pendidikan berbasis komunitas di suatu wilayah yang melibatkan tokoh adat dan agama cenderung lebih mudah diterima masyarakat karena mereka memiliki otoritas sosial di komunitasnya.
Selain itu, Studi telah menunjukkan bahwa Pendekatan Sosiokultural dalam Pemberdayaan telah berhasil diterapkan dalam berbagai konteks pembangunan. Menurut data dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada tahun 2022, program pemberdayaan masyarakat adat untuk rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah berhasil memulihkan lebih dari 120 ribu hektar lahan gambut dengan melibatkan lebih dari 5.000 masyarakat adat.
Meningkatkan Partisipasi Masyarakat
Pendekatan sosiokultural melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses pemberdayaan, sehingga masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap program yang dijalankan. Misalnya, di Desa Panglipuran, Bali, keberhasilan program pariwisata berbasis komunitas tidak lepas dari keterlibatan masyarakat setempat yang didukung oleh nilai-nilai budaya Hindu. Hal ini juga didasarkan pada data Kementerian Pariwisata (2021), pendapatan masyarakat desa meningkat hingga 40% setelah menjadi desa wisata.
Baca Juga: Efektivitas Visi Misi Calon Wali Kota Surabaya 2024: Isu Lingkungan Terkini dan UUPPLH
Pemberdayaan Perempuan melalui Kerajinan Lokal di beberapa daerah di Indonesia juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 50%. Misalnya di Kabupaten Baduy perempuan diberdayakan melalui pengembangan kerajinan lokal seperti pelatihan tenun ikat dan batik.
Pemberdayaan juga dilakukan melalui Pendidikan Berbasis Budaya. Misalnya di Papua, program pendidikan berbasis budaya lokal yang melibatkan cerita rakyat dan seni tradisional berhasil meningkatkan partisipasi anak-anak dalam pendidikan dasar. Data UNICEF menunjukkan bahwa program ini meningkatkan angka partisipasi sekolah hingga 30% di wilayah pedalaman.
Mengatasi Konflik Sosial
Pendekatan ini juga dapat menjadi alat untuk meredakan konflik sosial. Dengan memahami norma dan dinamika sosial setempat, intervensi dapat dirancang secara bijaksana sehingga tidak memicu resistensi dari masyarakat. Contoh konkret adalah program rekonsiliasi masyarakat pasca-konflik di Maluku yang berbasis pada nilai-nilai adat Pela Gandong.
Tantangan dan Solusi
Meskipun menawarkan banyak keunggulan, dalam pengimplementasiannya pendekatan sosiokultural juga memiliki tantangan. Mulai dari Resistensi terhadap Perubahan menyebabkan tidak semua masyarakat siap menerima inovasi yang dianggap bertentangan dengan tradisi lokal, minimnya dukungan kebijakan dan sulitnya menyeimbangkan antara tradisi yang kuat dan kebutuhan perubahan modern atau globalisasi yang sering kali mengikis nilai-nilai lokal.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, tentunya beberapa langkah strategis sangat diperlukan. Mulai dari peningkatan Kapasitas Tokoh Lokal dengan memberikan pelatihan kepada tokoh adat dan agama agar mereka dapat menjadi agen perubahan, Kolaborasi Multi-Stakeholder yang mengintegrasikan pemerintah, LSM (lembaga Swadaya Masyarakat), dan sektor swasta dalam mendukung pemberdayaan berbasis sosiokultural serta Program Pendidikan dan Kampanye Budaya guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan tradisi lokal.
Pemberdayaan masyarakat berbasis sosiokultural sangat penting karena pendekatan ini lebih efektif dan mudah diterima masyarakat. Pendekatan sosiokultural dalam pemberdayaan masyarakat juga memiliki peran strategis dalam memastikan keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan.
Baca Juga: Cyberbullying dan Kenakalan Remaja di Era Digital
Dengan menghormati kearifan lokal, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan menjaga harmoni sosial, pendekatan ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga identitas budaya dan keberlanjutan lingkungan serta masyarakat dapat lebih berdaya untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan.
Keberhasilan pendekatan ini dapat dilihat dari berbagai program di berbagai daerah di Indonesia mampu meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat tanpa menghilangkan identitas budaya mereka.
Namun, untuk mendorong pendekatan ini berkelanjutan, diperlukan upaya kolaboratif dari semua pihak, termasuk pemerintah, komunitas, dan sektor swasta. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat pembangunan, tetapi juga aktor utama dalam menciptakan perubahan positif bagi masa depan mereka.