Kurangi Mubazir, Tingkatkan Manfaat: Masukan bagi Program Makan Siang Bergizi Gratis

Opini: Roberto Reno Sitepu, S.S., M.Fil.
Opini: Roberto Reno Sitepu, S.S., M.Fil.

Program Makan Siang Bergizi Gratis merupakan salah satu inisiatif unggulan yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari janji kampanyenya. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, khususnya anak-anak dan kelompok rentan.

Dengan memastikan asupan gizi yang optimal, diharapkan tumbuh kembang generasi penerus bangsa dapat berlangsung dengan baik. Secara khusus, program ini dirancang untuk mengatasi masalah gizi buruk dan stunting, meningkatkan kualitas hidup serta pendidikan, sekaligus mendorong pemberdayaan ekonomi daerah.

Bacaan Lainnya

Sasaran program ini cukup luas, mencakup 82,9 juta penduduk Indonesia, terdiri dari 4,4 juta ibu hamil, 30 juta anak usia dini, 24 juta siswa sekolah dasar, 9,8 juta siswa sekolah menengah pertama, 10,2 juta siswa sekolah menengah atas dan kejuruan, serta 4,3 juta santri.

Dengan cakupan yang begitu besar, program ini memiliki potensi dampak positif yang luar biasa bagi masyarakat. Namun, pelaksanaannya di lapangan tidak terlepas dari berbagai kritik dan kendala yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Dalam sebuah laporan BBC News (9/1/2025), sejumlah siswa mengungkapkan keluhan terkait kualitas makanan yang mereka terima. Beberapa di antaranya mengeluhkan bahwa sayuran yang disajikan terasa pahit dan kecut, sementara ada pula yang merasa kecewa karena tidak mendapatkan susu seperti yang dijanjikan.

Selain itu, seorang pemeriksa gizi, Muhammad Shidqi, mengamati bahwa dari menu yang diunggah di media sosial, hanya satu dari enam sajian yang benar-benar memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2019.

Permasalahan ini mengarah pada risiko peningkatan limbah makanan, terutama jika makanan yang disediakan tidak menarik bagi anak-anak atau kualitasnya kurang memadai.

Isu limbah makanan atau “food waste” memang menjadi persoalan serius di Indonesia. Menurut laporan Food Waste Index 2021 dari United Nations Environment Programme (UNEP), Indonesia menghasilkan sekitar 20,93 juta ton sampah makanan setiap tahun, menjadikannya sebagai negara dengan jumlah limbah makanan terbesar di Asia Tenggara.

Kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2000 hingga 2019, Indonesia membuang sekitar 23 hingga 48 juta ton makanan per tahun, setara dengan 115 hingga 184 kilogram per kapita.

Selain menyebabkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai 213 hingga 551 triliun rupiah per tahun atau sekitar 4–5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), limbah makanan juga berkontribusi terhadap 8–10% emisi gas rumah kaca global.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa Program Makan Siang Bergizi Gratis tidak hanya sekadar menyediakan makanan, tetapi juga mampu mengurangi pemborosan serta meningkatkan efektivitas dan manfaatnya bagi penerima. Upaya ini dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan strategis.

Salah satu langkah yang dapat diterapkan adalah edukasi gizi bagi siswa. Kesadaran tentang pentingnya makanan sehat dan pengelolaan porsi perlu ditanamkan sejak dini. Sekolah dapat berperan sebagai pusat edukasi yang mengajarkan anak-anak mengenai gizi seimbang, pentingnya menghargai makanan, serta cara mengurangi limbah makanan. Melalui edukasi ini, diharapkan anak-anak memiliki pemahaman yang lebih baik tentang makanan yang dikonsumsi serta dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan.

Selain edukasi, perencanaan menu yang lebih efektif juga perlu diperhatikan. Pemerintah sebaiknya melibatkan siswa, orang tua, serta ahli gizi dalam menyusun menu yang tidak hanya memenuhi standar gizi, tetapi juga sesuai dengan selera anak-anak.

Dengan demikian, makanan yang disajikan lebih berpeluang untuk dikonsumsi dengan baik dan tidak terbuang percuma. Sebagai contoh, jika anak-anak cenderung kurang menyukai sayuran dengan rasa yang terlalu pahit atau kecut, pengolahan makanan dapat disesuaikan agar lebih ramah di lidah mereka.

Pengelolaan porsi makanan juga menjadi aspek krusial dalam mengurangi pemborosan. Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah sistem “offer versus serve”, di mana siswa diberikan pilihan untuk menentukan komponen makanan yang mereka inginkan dan mengatur porsinya sesuai dengan kebutuhan. Dengan cara ini, makanan yang tidak disukai tidak perlu disajikan secara paksa, sehingga dapat mengurangi jumlah makanan yang terbuang.

Selain itu, pengelolaan sisa makanan juga perlu dioptimalkan. Makanan yang masih layak dikonsumsi dapat dialokasikan kepada mereka yang membutuhkan melalui program pemulihan makanan. Sementara itu, sisa makanan yang sudah tidak layak dikonsumsi dapat diolah menjadi kompos, sehingga tetap memberikan manfaat bagi lingkungan. Inisiatif semacam ini tidak hanya mengurangi limbah makanan, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan sistem pangan yang lebih berkelanjutan.

Evaluasi dan pengawasan secara berkala terhadap program ini juga menjadi hal yang tidak kalah penting. Pemerintah perlu melakukan pemantauan rutin untuk mengukur efektivitas program dan mengidentifikasi aspek yang masih perlu diperbaiki. Umpan balik dari penerima manfaat, baik siswa maupun orang tua, harus dijadikan bahan pertimbangan utama dalam perbaikan program di masa mendatang.

Kolaborasi dengan berbagai pihak juga dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas program ini. Pemerintah dapat bekerja sama dengan petani lokal untuk memastikan pasokan bahan makanan segar dan berkualitas. Selain itu, keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam sosialisasi pentingnya makanan bergizi dan pengurangan limbah makanan dapat memberikan dampak positif yang lebih luas.

Sebagai refleksi, konsep menghargai makanan juga telah lama menjadi bagian dari ajaran agama dan nilai budaya kita. Pemuka agama kerap mengingatkan bahwa membuang makanan merupakan bentuk sikap tidak bersyukur atas rezeki yang diberikan.

Paus Fransiskus, dalam ensiklik “Laudato Si’”, menekankan bahwa membuang makanan sama saja dengan mencuri dari meja orang miskin. Oleh karena itu, kesadaran untuk tidak membuang makanan seharusnya menjadi bagian dari nilai-nilai yang ditanamkan kepada generasi muda.

Program Makan Siang Bergizi Gratis memiliki potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, agar manfaatnya benar-benar optimal, langkah-langkah konkret dalam mengatasi permasalahan pemborosan makanan, kualitas gizi, dan efektivitas distribusi perlu mendapat perhatian lebih. Dengan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang tepat, program ini dapat menjadi investasi jangka panjang dalam menciptakan generasi yang lebih sehat dan berdaya saing.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *